Menyoal Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase
Utama

Menyoal Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase

Pengusaha dan pemerintah beda pendapat mengenai implikasi syarat-syarat pembatalan putusan arbitrase.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Darma Ambiar dan Sujana Sulaeman, masing-masing mengatasnamakan direksi PT Menerina Cipta Guna dan PT Bangun Bumi Bersatu, merasa dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Kedua pengusaha ini menganggap rumusan Penjelasan dimaksud justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal 70 UU AAPS menyebutkan permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dikabulkan jika diduga mengandung unsur-unsur ditemukannya surat/dokumen yang ternyata palsu, disembunyikan, atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Penjelasan Pasal 70 menyebutkan permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan dan alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Nah, ketentuan penjelasan inilah yang oleh kedua pengusaha dianggap rancu dan mengandung norma baru. Bagi kedua pengusaha, gara-gara penjelasan, norma pokok dalam Pasal 70 menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum mereka mencari keadilan. Pengalaman keduanya bersidang di PN Bandung menguatkan argumentasinya (perkara No. 157/Pdt/PN-Bdg/2013).

Tetapi pemerintah punya pandangan lain. Plt Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, berpendapat aturan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS justru memberikan kepastian hukum dan keadilan. Ada tidaknya dugaan pemalsuan dokumen, menyembunyikan fakta, atau tipu muslihat dalam penyelesaian sengketa memang harus dibuktikan melalui putusan pengadilan (pidana).

Mualimin juga menampik tudingan rumusan Penjelasan Pasal 70 melahirkan norma baru yang membuat norma induknya tak operasional. “Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan menjadi noma baru dan telah selaras dengan maksud Pasal 70, sehingga sudah berfungsi sebagai penjelasan pasal,” ujarnya di Jakarta, Senin (14/4).

Pengusaha dan Pemerintah akhirnya beradu argumentasi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Darma dan Sujana – lewat kuasa hukum—meminta Mahkamah membatalkan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS.

Mualimin melanjutkan kepastian dan keadilan yang dimaksud itu seseorang baru dapat dinyatakan bersalah setelah ada pembuktian. Jika Penjelasan Pasal 70 itu dihapus, justru Pasal 70 akan kehilangan tafsir resmi. Pembuktian unsur dugaan pemalsuan dokumen atau tipu muslihat, diakui Mualimin, membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan putusan akhir dalam rangka pembatalan putusan arbitrase.

“Tetapi, sebenarnya proses pembatalan putusan arbitrase hanya memakan waktu 60 hari sejak putusan arbitrase dibacakan sesuai Pasal 71 jo Pasal 72 ayat (3). Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya bisa dilakukan secara sederhana dan tidak memakan waktu lama,” kata Mualimin.

“Dengan demikian, gugatan pemohon terdapat norma baru atau perubahan terselubung dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak terbukti dan patut ditolak karena tidak bertentangan dengan UUD 1945,” sambungnya.

Inkonstitusional
Kuasa hukum para pemohon Andi Syafrani menegaskan kliennya meminta Penjelasan Pasal 70 UU AAPS inkonstitusional. Pasal 70 dan bagian Penjelasannya inkonsisten (memunculkan norma baru), khususnya antara kata “diduga” dan frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan,” kata Andi.

Dia mengatakan ketentuan Pasal 70 tidak bisa dilepaskan dengan Pasal 71 terkait jangka waktu penyelesaian perkara pembatalan putusan arbitrase selama 30 hari di pengadilan. “Tidak mungkin jangka waktu 30 hari bisa diputus, apalagi kalau sampai inkracht di MA (banding). Ini artinya, ketentuan itu tidak bisa diterapkan/operasional,” katanya.

Dalam praktik selama ini permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan ditolak terutama saat diajukan banding ke MA akibat Penjelasan Pasal 70. Sementara proses di pengadilan negeri, umumnya konsisten menggunakan Pasal 70, seperti dalam permohonan para pemohon yang dikabulkan PN Bandung. Tetapi, kini BANI dan PT PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB) tengah mengajukan upaya hukum lanjutan ke MA. “Ini kan ‘tabrakan’, yang menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya dalam dunia bisnis,” lanjutnya.

Awalnya, kata Andi, kliennnya bersengketa dengan PT PLN menyangkut pembelian pembangkit tenaga mini hidro oleh PLN di Lebak Banten. Namun, sejak 3 tahun terakhir PLN tidak pernah melakukan pembelian energi alternatif itu. Alhasil, persoalan ini sepakat diselesaikan di BANI dan pada Februari 2013 arbitrase mengabulkan sebagian permohonan ini.

“Tetapi, kita melihat ada unsur tipu muslihat legalitas surat kuasa karena ternyata yang memberi surat kuasa manajer PLN DJBB, bukan direksi PLN. Belakangan, saat sidang di PN Bandung muncul surat kuasa dari direksi, tetapi tanggalnya mundur keliru. Ini yang kita persoalkan karena ada dugaan tipu muslihat terkait pemalsuan surat”.
Tags:

Berita Terkait