Menyoal Posisi Aset Kripto di RUU PPSK
Terbaru

Menyoal Posisi Aset Kripto di RUU PPSK

Aturan tentang aset kripto dalam RUU PPSK cenderung membingungkan karena posisinya yang berada di bawah BI dan OJK, berlaku sebagai mata uang atau komoditas.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Menyoal Posisi Aset Kripto di RUU PPSK
Hukumonline

Plt Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko meminta semua pihak melakukan pengawalan agar kripto tidak menjadi mata uang (currency), tetapi tetap menjadi aset.

Dia juga meminta semua pihak untuk mengawal Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), khususnya terkait dengan pasal- pasal yang menyangkut Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK).

"Mari sama- sama kita kawal RUU PPSK ini, agar kripto tidak menjadi currency, tetapi tetap menjadi aset," kata Didid seperti dikutip Antara, dalam diskusi bertajuk Arah Pengembangan Aset Kripto dalam RUU PPSK yang diselenggarakan oleh CELIOS di Jakarta, Rabu (2/11).

Baca Juga:

Dia menjelaskan rencana pemindahan pengelolaan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan dilakukan secara bertahap, yang kemungkinan dapat mencapai waktu lima tahun.

Mengacu pada RUU PPSK, dalam Pasal 205 dan Pasal 207 disebutkan bahwa aset kripto akan berada di bawah wewenang OJK dan Bank Indonesia (BI), bukan Bappebti lagi. "Kami ingin memastikan pengelolaan aset kripto akan tetap sustain. Bappebti ataupun OJK yang mengelola itu," kata Didid.

Meskipun demikian apabila aturan ini nantinya disahkan, pihaknya memastikan Bappebti akan tetap memperbaiki peraturan tentang aset kripto yang terdapat di dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Aset Fisik Kripto di Bursa Berjangka, Kementerian Perdagangan (Perba No. 8/2021).

"Kami tidak sempurna, tetapi kami sudah mencoba dan kami sudah berhasil mengawal perdagangan aset kripto dengan baik," kata Didid.

Sementara, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan perlu dilakukan harmonisasi terhadap aturan aset kripto yang ada di dalam RUU PPSK dan Perba 8/2021, sehingga komoditas ini dapat terus berkembang di Indonesia.

"RUU PPSK idealnya disinkronkan dengan pengaturan di dalam Perba No.8/2021 karena sama-sama bicara soal aturan aset kripto. Jangan ada dualisme antara Bappebti dengan otoritas lainnya, karena bisa menghambat pengembangan aset kripto.” kata Bhima.

Alasannya, ia menilai aturan tentang aset kripto dalam RUU PPSK cenderung membingungkan karena posisinya yang berada di bawah BI dan OJK, berlaku sebagai mata uang atau komoditas.

Menurut dia, aturan aset kripto di bawah otoritas BI dan OJK akan berisiko menggeser definisinya dari komoditas menjadi mata uang, sehingga dapat menimbulkan gangguan pada sektor keuangan.

"Apakah ke depan Bappebti akan masuk di bawah ranah OJK ? Bagaimana dengan peran Kementerian Perdagangan sebagai pembuat kebijakan terkait perdagangan berjangka? Pertanyaan ini harus segera dijawab, dan draft RUU PPSK perlu diubah total pada bagian aset kripto untuk mengakomodir pengaturan yang ideal bagi stabilitas perekonomian dan perlindungan investor.” kata Bhima.

Sementara, dalam Perba No.8/2021, dia menyebut harusnya aturan tentang aset kripto menitikberatkan pada mitigasi risiko yang muncul dalam industri ini.

Dengan itu, pihaknya meminta Bappebti untuk segera merevisi poin- poin yang ada dalam Perba No. 8/2021, sebelum RUU PPSK disahkan.

"Catatan untuk peraturan Bappebti sendiri, setidaknya harus ada perbaikan teknis persyaratan modal minimum bursa berjangka, lembaga kliring, dan tempat penyimpanan aset kripto, sehingga tidak menghambat berkembangnya infrastruktur perdagangan aset kripto di Indonesia," kata Bhima.

Sebagai informasi, polemik aturan tentang aset kripto masih berlangsung seiring adanya Pasal 205 dan Pasal 207 dalam RUU PPSK yang menyebut aset kripto berada di bawah wewenang BI dan OJK, ditambah, masih perlunya dilakukan perbaikan atas Perba No.8/2021.

Di sisi lain, pelanggan aset kripto di Indonesia terus meningkat mencapai 16,1 juta pelanggan hingga akhir Oktober 2022, yang 48 persennya berusia 18- 35 tahun, serta transaksi aset kripto tercatat mencapai kisaran Rp260 triliun per September 2022.

Tags:

Berita Terkait