Menyoal Sengketa Nikel dan Reformasi Banding WTO
Terbaru

Menyoal Sengketa Nikel dan Reformasi Banding WTO

Narasi kedaulatan bangsa tak dapat digunakan sebagai argumentasi di depan forum internasional. Pemerintah Indonesia mesti mempersiapkan argumentasi dengan landasan hukum yang kuat dalam sengketa tersebut.

CR 30
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Bidang Hukum Ekonomi dan Teknologi FH-UI, Prof Yetty Komalasari Dewi dalam kuliah umum bertajuk Sengketa Nikel Indonesia di WTO dan Reformasi Badan Banding WTO: Quo Vadis? di FH Universitas Jember, Sabtu (24/2/2024). Foto: Youtube
Guru Besar Bidang Hukum Ekonomi dan Teknologi FH-UI, Prof Yetty Komalasari Dewi dalam kuliah umum bertajuk Sengketa Nikel Indonesia di WTO dan Reformasi Badan Banding WTO: Quo Vadis? di FH Universitas Jember, Sabtu (24/2/2024). Foto: Youtube

Kalah sudah Indonesia terkait sengketa nikel di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas gugatan Uni Eropa (EU) terhadap kebijakan Indonesia melarang ekspor bijih nikel. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri. Karenanya, pemerintah Indonesia bakal mengajukan upaya banding kendati masih terganjal karena Amerika Serikat  belum menyetujui pembentukan panel banding WTO.

Guru Besar Bidang Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Yetty Komalasari Dewi mengatakan, regulasi yang digugat EU meliputi Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.11 Tahun2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM No.25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid itu intinya pelarangan ekspor nikel dengan konsentrasi kurang dari 1.7 persen.

Sementara Permen ESDM No.7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Dasar gugatan pada regulasi Pemerintah Indonesia pada beberapa poin. Pertama, Pasal XI:1  The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)/ Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan

1994 yang mengatur tentang Pembatasan Kuantitatif. Kedua, Pasal 3.1 The Agreement on Subsidies & Countervailing Measures (ASCM). Ketiga, Pasal X:1 GATT tentang transparansi mengenai publikasi aturan yang


“Intinya pasal itu (Pasal XI:1 GATT 1994, -red) tidak boleh melakukan pembatasan pelarangan dalam bentuk kuota dan lainnya kecuali dalam bentuk tarif, kalau dalam WTO ini sering disebut hambatan perdagangan,” ujarnya dalam kuliah umum bertajuk ‘Sengketa Nikel Indonesia di WTO dan Reformasi Badan Banding WTO: Quo Vadis?’ di Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ), Sabtu (24/2/2024).

Baca juga:

Dia menerangkan, regulasi pelarangan ekspor dan kewajiban membangun smelter nikel dianggap tidak sesuai dengan prinsip bebas batasan dan larangan pada Pasal XI:1 GATT 1994. Sementara Indonesia merespons dengan dalih menggunanakan Pasal XX (d) GATT 1994.

Tags:

Berita Terkait