Merawat Independensi Kepemimpinan BPK
Kolom

Merawat Independensi Kepemimpinan BPK

Terdapat tiga pertimbangan yang harus diperhatikan oleh Pansel Pimpinan BPK terhadap Capim BPK yang berasal dari politisi.

Bacaan 4 Menit


Pertama, secara yuridis konstitusional, pemaknaan frasa ‘bebas dan mandiri’ di dalam konstitusi sebetulnya telah diakomodir melalui rumusan Pasal 28 huruf e UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang secara tegas menjelaskan bahwa anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik. Artinya, secara eksplisit, terdapat larangan bagi unsur politisi untuk menjadi Capim BPK. Sebab, tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi profesionalitas dan independensi lembaga BPK tersebut dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.

Selain itu, menurut kajian World Bank berjudul, Features and Functions of Supreme Audit Institutions menjelaskan bahwa terdapat 6 parameter melihat kesuksesan lembaga audit tertinggi suatu negara yaitu meliputi, Supportive environment, Clear mandates, Independence, Adequate funding, facilities, and staff, Sharing of knowledge and experience and Adherence to international auditing standards.

Logika sederhananya, manakala Capim BPK yang notabene merupakan politisi itu terpilih, lalu ia mengundurkan diri sebagai anggota parpol, maka tidak serta merta meluruhkan identitasnya sebagai anggota partai politik. Secara administrasi mungkin iya, tetapi secara politik praktis pimpinan BPK yang sudah mengundurkan diri dari partai politik akan sulit melepas afiliasinya dengan partai politik. Akibatnya, pimpinan BPK tersebut kehilangan objektivitas dan profesionalitas melakukan audit keuangan negara termasuk dalam hal mengaudit parpol.

Itu sebabnya, Capim BPK yang dicari haruslah figur yang profesional dan terlepas dari unsur/afiliasi partai politik. Artinya, Pansel harus betul-betul jeli menelisik setiap Capim BPK yang sudah mendaftar. Jika perlu Pansel menutup keran bagi Capim BPK yang berasal dari politisi tersebut, karena jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, sebagai lembaga yang berperan vital memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, tentu lembaga auditor negara ini merupakan lembaga yang rawan terhadap konflik kepentingan yang bermuara korupsi. Itu sebabnya, ketika pimpinan BPK diisi oleh politisi, dikhawatirkan berpotensi menyalahgunakan kewenangan dan cenderung melakukan trading influence dalam menjalankan ketiga kategori cakupan pemeriksaan BPK tersebut. Sebab, BPK mesti belajar dari potret buruk masa lalu seperti kasus jual beli opini terhadap auditor keuangan negara dalam beberapa tahun terakhir. Tentu ini harus menjadi perhatian bagi DPR dan DPD dalam menentukan pimpinan ideal BPK dengan melihat pertimbangan pengalaman tadi.

Ketiga, sebetulnya dalam muatan konstitusi pengangkatan pimpinan BPK sama halnya dengan lembaga negara lain, sistem pengisiannya dianggap sudah cukup demokratis karena dipilih parlemen. Meskipun sistem tersebut didesain sedemikian rupa, namun masih terdapat loophole dan rawan dipolitisasi, bahkan sering dikaitkan dengan isu permainan uang. Kondisi ini dikhawatirkan dapat terjadi pada saat babak fit and propert test di parlemen. Capim BPK yang berasal dari partai politik dikhawatirkan cenderung melakukan transaksi politik dengan kolega di parlemen. Ini tentu saja berseberangan dengan prinsip transparansi dan akuntabalitas penyelenggaraan pemerintahan.

Evaluasi dan Gagasan Seleksi Pimpinan BPK

Pengisian jabatan pimpinan pada beberapa lembaga negara seringkali menimbulkan polemik. Salah satunya dalam hal pengisian pimpinan BPK yang pada saat-saat tertentu diseleksi sendiri oleh DPR tanpa memperhatikan secara sungguh-sunggguh pertimbangan dari DPD. Padahal menurut ketentuan Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden”.

Tags:

Berita Terkait