Mereka yang Berjasa dalam Penerjemahan ‘Resmi’ KUHP
Potret Kamus Hukum Indonesia

Mereka yang Berjasa dalam Penerjemahan ‘Resmi’ KUHP

Ada banyak tokoh hukum yang pernah terlibat dalam penyusunan KUHP nasional. Prof. Sahetapy disebut sebagai tulang punggungnya.

Oleh:
Muhammad Yasin/Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Dalam buku KUHP terjemahan resmi terbitan BPHN, Sahetapy menulis bahwa semua terjemahan KUHP yang beredar selama ini merupakan terjemahan yang tidak resmi. Jika pandangan ini benar, maka seharusnya yang dipergunakan aparat penegak hukum adalah teks dalam WvS.

 

Sahetapy juga berpandangan bahwa untuk dapat memahami suatu karya yuridis seperti KUHP, orang harus mengerti bukan saja bahasa yang ada pada waktu KUHP disusun, melainkan juga budaya dimana pada waktu itu ditumbuhkan, bertumbuh, dan berakar. “Bagaimanapun baiknya suatu terjemahan KUHP, tetap dibutuhkan suatu KUHP nasional yang berakar dan bertumbuh  dalam wadah budaya Indonesia”. (Baca juga: JE Sahetapy: Tindak Pidana Korupsi Bisa Berlaku Surut)

 

Prof. R. Sudarto

Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di kampus Universitas Diponegoro Semarang. Dikenal publik sebagai Guru Besar Hukum Pidana, Sudarto adalah pendiri Universitas Diponegoro bersama-sama Mr Dan Soelaiman, Mr. Soesanto Kartoatmodjo, dan Mr Imam Bardjo. Perjalanannya di dunia hukum sangat panjang, dimulai dari ajun jaksa di Jember pada 1945. Pada 1951 ia sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri I Semarang. Pria kelahiran Jember 10 Februari 1923 itu kemudian berkecimpung di dunia akademik. Ia menjadi Rektor Universitas Diponegoro pada 1978-1986. Dalam riwayat penyusunan KUHP, Prof. Sudarto menjadi ketua tim pengkajian dan tim rancangan KUHP hingga meninggal dunia pada Juli 1986. Sudarto digantikan Ruslan Saleh (1988), Mardjono Reksodiputro (1982-1993).  (Baca juga: Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP)

 

Karyanya antara lain Hukum dan Hukum Pidana (1986). Dalam buku ini, Sudarto menyebut tiga alasan mengapa KUHP baru menjadi penting bagi Indonesia. Pertama, alasan politik; kedua alasan sosiologi; dan ketiga alasan praktis. Alasan ketiga relevan dengan tulisan ini, karena berkaitan dengan terjemahan WvS. Ia mengatakan jumlah penegak hukum, termasuk hakim, yang memahami bahasa Belanda semakin lama semakin berkurang. Terjemahan dari WvS yang beraneka ragam tidak membantu penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan seragam. Ia menulis (1986: 63-64), tidak mustahil terjadi penafsiran yang menyimpang dari makna teks aslinya, yang disebabkan oleh suatu terjemahan yang kurang tepat”.

 

Prof. Mahadi

Guru Besar Fakultas Hukum USU ini dilahirkan di Serdang Bedagai, 3 Februari 1912. Pada usia 26 tahun, ia menyelesaikan studinya di Faculteit der Rechtsgeleerdheid te Batavia, dengan mengangkat topik hukum adat, di bawah bimbingan Prof. ter Haar. Mengawali karir bidang hukum, Mahadi pernah bekerja di beberapa tempat antara lain kantor Gubernur Jawa Timur, kantor Kabupaten Bangkalan, dan Sekretaris Kesultanan Deli. Setelah era kemerdekaan, Mahadi menjalankan profesi sebagai hakim, pertama kali di Pengadilan Negeri di Lampung (1946-1949). Setelah itu bertugas di Medan, sampai menduduki jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Medan.

 

Selain mengabdi sebagai hakim, Mahadi mengajar di beberapa universitas. Bahkan, namanya tercatat sebagai salah seorang pendiri Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Sumatera (1954). Di sini, ia pernah menjadi sekretaris Fakultas Hukum USU (1954-1955), acting Dekan (1955-1958), dan Pembantu Rektor I USU (1974-1978). Selama karirnya sebagai akademisi, Mahadi melakukan banyak penelitian dan melahirkan sejumlah karya tulis. Sebagian penelitian itu bekerjasama dengan LPHN/BPHN. (Baca juga: Refleksi Pemikiran Profesor Mahadi)

 

Guru Besar FH USU, OK Saidin, merampungkan pemikiran Mahadi dalam buku ‘Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi Pemikiran Prof. Mahadi (2016). Buku ini merujuk pada setidaknya 15 karya tulis Mahadi. Namun tidak banyak disinggung pandangan dan keterlibatan Prof. Mahadi dalam bidang pidana, meskipun ia tercatat sebagai salah seorang ahli hukum yang ikut menerjemahkan KUHP versi BPHN. Prof. Mahadi wafat pada 15 September 1989. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait