Meski IPK Naik, Indonesia Masih Yang Terkorup
Berita

Meski IPK Naik, Indonesia Masih Yang Terkorup

Bukan rahasia lagi bahwa pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Beberapa orang yang diduga melakukan korupsi ternyata lolos dari sergapan penyidikan karena masih adanya‘political backing....

Rzk
Bacaan 2 Menit
Meski IPK Naik, Indonesia Masih Yang Terkorup
Hukumonline

Sumber: Data BPS

 

TI dalam rilisnya menyatakan IPK tahun 2006 secara jelas memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara korupsi dan kemiskinan, terutama di negara-negara peringkat rendah, tak terkecuali Indonesia.

 

Ketua TI Huguette Labelle menyatakan, Ditengah dekade kemajuan negara-negara yang telah berhasil melahirkan hukum dan peraturan anti korupsi, korupsi mengungkung jutaan warga dalam kemiskinan.

 

Lebih lanjut, TI menyatakan korelasi antara korupsi dan kemiskinan dapat terlihat dalam hasil survei IPK 2006. Hampir tiga perempat negara-negara yang disurvei dalam IPK 2006 memperoleh skor di bawah lima. Artinya, kondisi itu bisa dikategorikan sebagai negara yang tengah menghadapi tingkat korupsi domestik yang mengkhawatirkan.

 

Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis mengingatkan bahwa dalam membaca IPK parameter yang menentukan adalah skor, bukan peringkat. Skor itu mengindikasikan level korupsi di suatu negara sementara peringkat bisa menyesatkan yang perubahannya tergantung pada jumlah negara yang disurvei. Dalam IPK tahun 2005 peringkat Indonesia dengan skor 2,2 adalah keenam paling korup di antara 158 negara, sementara tahun 2006 ini peringkat Indonesia dengan skor 2,4 adalah ketujuh dari 163 negara. Dalam pemeringkatan ini kita bisa membuat Index tapi level korupsi lebih dapat dilihat dalam perolehan skor, sambungnya.

 

Kerjasama global

Selain itu, Todung mengatakan upaya pemberantasan korupsi juga memerlukan kerjasama global. Sayangnya, lanjut Todung, upaya Indonesia dalam memberantas korupsi seringkali terbentur karena tidak adanya sikap kooperatif dari negara-negara lain. Khususnya terhadap kepada para koruptor yang melarikan diri atau ‘memarkirkan' uang hasil korupsi mereka ke luar negeri. Misalnya, Singapura yang seharusnya bisa membuka fasilitas kerjasama antar negara, termasuk perjanjian ekstradisi. Kerjasama ini terbuka lebar karena Singapura telah menandatangani Kovensi PBB tentang anti-korupsi.

 

Persepsi masyarakat global mengenai Singapura yang dianggap sebagai negara terbersih di dunia, tidak menghilangkan kenyataan bahwa negara itu menjadi surga para koruptor dan tempat penyimpanan uang hasil korupsi dari Indonesia, kata Todung.

 

Diluar faktor kerja sama global, Todung menyebutkan beberapa faktor lain yang dapat dikatakan menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain kebijakan tebang pilih, pertikaian destruktif antar lembaga penegak hukum, fenomena serangan balik dari para koruptor, menguatnya kronisme, dan melemahnya peran media.

 

Bukan rahasia lagi bahwa pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Dalam beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan KPK kita masih melihat bahwa beberapa orang yang diduga melakukan korupsi ternyata lolos dari sergapan penyidikan karena masih adanya ‘political backing', ujarnya.

 

Sementara itu, ditemui dalam acara Halal-Bihalal Kejaksaan (7/11), Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyambut gembira perbaikan IPK Indonesia. Menurut Jaksa Agung, hasil positif ini sejalan dengan apresiasi baik dari Presiden maupun Wakil Presiden yang secara umum juga menilai upaya pemberantasan korupsi sudah cukup baik. Karena sekarang orang-orang sudah pada takut (melakukan korupsi, red.), tandasnya.

 

Mengenai isu tebang pilih, Jaksa Agung mengatakan di negara demokrasi siapapun boleh berpendapat apa saja. Namin, dia menegaskan bahwa Kejaksaan tidak pernah mengistimewakan satu kasus dari kasus lainnya. Tidak ada tebang pilih dalam arti menganaktirikan yang lain. Tetapi kita memang memilih-milih yang besar, jelasnya.

Walaupun ada ‘kecacatan' di sana-sini, tidak dapat dipungkiri upaya pemerintah melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi mulai menunjukkan hasil positif. Kabar baik ini setidaknya dapat tergambar dari daftar Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terbaru yang dikeluarkan Transparency International (TI). Untuk tahun 2006 ini, Indonesia diberi angka IPK 2,4 atau naik 0,2 dari IPK tahun sebelumnya 2,2.

 

Kabar baik kah? Tentunya iya, tetapi apakah cukup untuk menanggalkan cap sebagai salah satu negara terkorup? Ternyata tidak. Pasalnya, TI menetapkan standar IPK 3 untuk mengkategorikan tingkah keparahan korupsi di suatu negara. Artinya, dengan hanya mengantungi IPK dibawah 3, Indonesia sepertinya harus tetap menyandang cap buruk itu. Ditambah lagi dengan adanya fakta statistik dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah orang miskin di Indonesia justru meningkat pada tahun 2006 yakni 39,05 juta orang atau 17,75%.

 

Statistik Kemiskinan Di Indonesia

Tahun

Jumlah Orang Miskin

Prosentase

2002

38,40 juta

(18,20%)

2003

37,30 juta

(17,42%)

2004

36,10 juta

(16,66%)

2005

35,10 juta

(15,97%)

2006

39,05 juta

(17,75%)

Halaman Selanjutnya:
Tags: