MK Tutup Ruang Debt Collector?
Kolom

MK Tutup Ruang Debt Collector?

Semoga putusan MK tersebut dapat memberikan suasana kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga masyarakat akan merasa terlindungi, tenang, aman dan nyaman dalam melakukan berbagai transaksi kredit.

Bacaan 2 Menit

 

Menurut MK, hal tersebut menunjukkan, di satu sisi adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur.Di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dalam hal ini penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif yang ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada debitur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.

 

Substansi Perjanjian

Selain itu, MK dalam pertimbangan hukumnya juga berupaya untuk menjelaskan terkait substansi dari sebuah perjanjian. Menurut MK, prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan.

 

Dengan kata lain, menurut MK, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).

 

Hal lain yang juga dijelaskan MK dalam pertimbangan hukumnya bahwa tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”. Baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.

 

Batasan Cidera Janji dan Mekanisme Eksekutorial

MK juga menguraikan secara seksama tentang batasan cidera janji yang menjadi salah satu biang terjadinya praktik legalisasi debt collector. Menurut MK, persoalan tentang kapan “cidera janji” dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan, hal tersebut menjadi hal yang tidak diragukan kejelasannya.

 

Hal tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.

 

Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya, MK juga memberikan semacam guidance terkait dengan bagaiaman mekanisme “eksekutorial” dalam sengketa keperdataan. Menurut MK, sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.

Tags:

Berita Terkait