MK Tutup Ruang Debt Collector?
Kolom

MK Tutup Ruang Debt Collector?

Semoga putusan MK tersebut dapat memberikan suasana kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga masyarakat akan merasa terlindungi, tenang, aman dan nyaman dalam melakukan berbagai transaksi kredit.

Bacaan 2 Menit

 

Terlebih lagi, MK berpendapat bahwa untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, MK berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri.

 

Dengan kata lain, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.

 

Konstitusionalitas Norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)

Dalam pertimbangan akhirnya, MK menyatakan bahwa telah cukup alasan bagi MK untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

 

Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

 

Semoga putusan MK tersebut dapat memberikan suasana kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga masyarakat akan merasa terlindungi, tenang, aman dan nyaman dalam melakukan berbagai transaksi kredit.

 

*)Hani Adhani adalah PhD Candidate FH IIUM Malaysia. Alumni FH UI dan UMY.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait