Monopoli Informasi No, Radio Komunitas Yes
Fokus

Monopoli Informasi No, Radio Komunitas Yes

Demokratisasi media merupakan suatu keharusan konstitusional yang perlu diperjuangkan. RUU Penyiaran yang saat ini dalam pembahasan tahap tiga bukan berjalan tanpa rintangan. Apalagi dalam pembahasan RUU tersebut, banyak benturan kepentingan antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri di bidang media.

Ram/APr
Bacaan 2 Menit

Merujuk pada UU No. 24 tentang Penyiaran, sangat kental dengan intervensi penguasa.   Belum selesai RUU Penyiaran dibahas, pemerintah Megawati mengeluarkan Keppres 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara. Rumusan Pasal 32 dan 33 Keppres tersebut mengindikasikan keinginan dari pemerintah untuk intervensi di bidang penyiaran dan telematika.

Keberadaan Menteri Negera Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam koordinasi Menpolkam tentunya mengindikasikan bahwa Komunikasi dan Informasi akan kembali dikuasai oleh pemerintah. Khusus di bidang penyiaran, dalam Pasal 33 (c) RUU Penyiaran, Kementerian Kominfo memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang penyiaran.

Dengan begitu, pemerintah bermaksud untuk kembali menguasai informasi dari hulu ke hilir tanpa kecuali. Dalam level birorasi, kontrol informasi dilakukan oleh Menpolkam, sedang dalam level publik dilakukan oleh kementerian Kominfo. Tragis dunia informasi dan komunikasi di Indonesia, khususnya dunia penyiaran. Baru sebentar menghisap udara segar, harus kembali menghirup belenggu.

Aneh juga jika ada pandangan, ketika penyiaran yang syarat dengan informasi dianggap akan mengganggu stabilitas. Padahal bila paradigmanya kertebukaan, tidak bisa saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Pemerintah selaku pelaksana dari kedaulatan publik sudah selayaknya memberikan ruang kepada publik dalam menentukan kebijakan di bidang penyiaran. 

Publiklah yang akan menetukan sendiri, mekanisme kontrol penyelenggaraan penyiaran. Melalui sebuah lembaga independen yang dibentuk di tingkat pusat dan daerah, dalam hal ini adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), proses "sensor" dilakukan oleh badan tersebut dan tidak lagi oleh pemerintah.

Keberadaan UU No. 22 tahun 2000, merupakan landasan yuridis bagaimana kegiatan penyiaran di Indonesia diselenggarakan berdasarkan azas desentralisasi dan dekonsentrasi. Logika yuridisnya, publik memiliki kesempatan yang besar untuk mengembangkan penyiaran berdasarkan bidang tertentu dan dengan jangkauan yang terbatas sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat setempat.

Di era otonomi, bukanlah disintegrasi yang akan muncul dengan adanya radio komunitas. Justru sebaliknya masyarakat dapat tercerdaskan dan saling menghargai perbedaan yang selama ini selalu kita nafikan.

Meski harus disempurnakan rumusan pasal mengenai radio komunitas dalam RUU Penyiaran, bukan berarti radio komunitas harus dihapuskan. Karena dengan keberadaan radio komunitas, masyarakat akan mampu mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya dalam upaya pembangunan bangsa. Khususnya, tempat di mana radio komunitas itu berada.  

Tags: