Narapidana Anak: Awalnya Saya Takut!
Hari Anak Nasional

Narapidana Anak: Awalnya Saya Takut!

“Saya mengira tadinya ketika dipenjara saya akan dikurung, dipukuli. Setelah masuk saya tidak merasakan itu, malah bisa melanjutkan sekolah,” ujar UW.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan, LPKA Tangerang berencana menambah laboratorium IPA dan Bahasa namun kekurangan dana. LPKA Tangerang pernah mendapat bantuan untuk membangun laboratorium tehnik sepeda motor dari sebuah perusahaan otomotif asal Jepang. “Ruangan untuk membangun laboratorium IPA dan Bahasa sudah ada, tapi kita butuh donatur karena pembangunannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” jelasnya.
Selain pemenuhan hak atas pendidikan, LPKA Tangerang menghadapi tantangan dalam memenuhi hak anak terhadap kesehatan sebab minim petugas medis. Tidak ada dokter umum, hanya punya dokter gigi dan perawat. Rizal mengatakan LPKA Tangerang memaksimalkan SDM yang ada agar bisa memberi pengobatan dan perawatan bagi anak yang mengalami masalah kesehatan. “Kami kan tidak bisa diam saja melihat anak yang sakit,” tegasnya.
Untuk pemenuhan gizi anak, Rizal mengatakan LPKA Tangerang berupaya maksimal walau anggaran yang ada minim. Dana yang tersedia untuk jatah makan satu anak Rp14 ribu satu hari. Itu digunakan untuk tiga kali makan sehari dan snack. Ironisnya, dana yang minim itu harus dipotong pajak dan keuntungan bagi pihak ketiga yang menyuplai bahan makanan.
Penghuni LPKA Turun
Sering terdengar di masyarakat kapasitas lapas di Indonesia kelebihan penghuni, tapi itu tidak terjadi di LPKA Tangerang. Rizal menyebut saat ini jumlah narapidana dan tahanan anak penghuni LPKA Tangerang 96 orang. Padahal, kapasitas hunian bisa menampung 220 anak. “Dua tahun lalu jumlah penghuni mencapai 200 anak. Setelah impelementasi UU SPPA jumlahnya berkurang,” urainya.
Rizal menjelaskan UU SPPA mengamanatkan penempatan anak yang berhadapan dengan hukum di LPKA merupakan opsi terakhir. Sistem pidana anak sebagaimana UU SPPA memungkinkan anak untuk dikembalikan kepada orang tua atau Lembaga Pembinaan Kesejahteraan Sosial (LPKS) yang berada di bawah Kementerian Sosial. Tentunya dengan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan seperti ancaman pidananya di bawah 7 tahun. Kemudian, ada perdamaian antara pihak pelaku dengan korban dan penggantian kerugian yang dialami korban.
Mengacu UU SPPA, usia anak yang bisa dibina di LPKA yakni 14-18 tahun. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum dengan usia 12-14 tahun tetap dikenakan penegakan hukum tapi dikembalikan kepada orang tua atau dibina di LPKS. “Itulah yang mengurangi jumlah penghuni LPKA Tangerang,” katanya.
Tercatat mayoritas narapidana anak penghuni LPKA Tangerang terjerat kasus narkotika, asusila dan pembunuhan. 
Tags:

Berita Terkait