Naskah Akademis Belum Tentu Jamin Mutu Undang-Undang
Berita

Naskah Akademis Belum Tentu Jamin Mutu Undang-Undang

Naskah akademis belum menjawab substansi rancangan undang-undang. Lagipula UU 10/2004 tidak mewajibkan adanya naskah akadesmis.

Mon
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Wicipto naskah akademis kerap diajukan bersamaan dengan RUUnya. Hanya sebagai pelengkap, terang Wicipto. Seharusnya, pemrakarsa mengajukan naskah akademis terlebih dulu. Disusul dengan pengajuan RUU. Sebab bagaimana mungkin pembahasan dilakukan tanpa landasan, kata Wicipto. Lebih parah, meskipun jarang terjadi, ada pemrakarsa yang mengajukan RUU sebelum naskah akademis. Naskah akademis hanya dipandang sekedar formalitas, tebal-tebal, tapi isinya tidak terlalu membantu ketika dalam penyusunan, kata Wicipto.

 

Apalagi naskah akademis bukan hal yang wajib. UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak mengharuskan. Tetapi dapat dibuat. Jadi tidak bersifat imperatif,  kata Ramly. Ramly menengarai banyak naskah akademis yang dibuat asal-asalan. Penyusunannya tidak  melalui studi komprehensif, tambah Wicipto.

 

Ramly menuturkan membiarkan pembahasan RUU tanpa naskah akademis seperti membiarkan kemungkinan kesalahan dalam RUU. UU yang dilahirkan umurnya pendek dan berpotensi diyudisial review oleh Mahkamah Konstitusi. Itu menunjukan ketidakcermatan dalam penyusunan konsep awalnya, kata guru besar Universitas Padjdjaran itu.

 

Apalagi penyusunan norma-norma undang-undang di DPR diwarnai kompromi politik. Tarik-tarikan kepentingan, kata Ramly. Kompromi yang keluar dari prinsip hukum juga berpotensi untuk diyudisial review. Bahkan sekalipun ada naskah akademis, DPR tidak menjadikannya sebagai rujukan pembahasan. DPR sering kali tidak membuka naskah akademis, tutur Ramly.

 

Partisipasi Masyarakat

Menghindari produk undang-undang yang buruk, BPHN berniat untuk menjaring opini masyarakat dalam membentuk undang-undang. Masyarakat bisa memberikan pendapat tentang regulasi yang mereka butuhkan, kata Ramly. Usulan itu bisa disampaikan dengan membuat panduan, naskah akademis, bahkan draft undang-undang. Ini bentuk keterbukaan, tutur Ramly.

 

BPHN akan melakukan pengkajian terhadap usulan. Jika terbukti dibutuhkan oleh masyarakat, usulan itu akan dibawa ke dalam rapat Program Legislasi nasional antar departemen. Kemudian, BPHN akan mengusulkan agar departemen terkait menjadi pemrakarsa atas usulan masyarakat.

 

Selama ini perencanaan dan pembentukan undang-undang kerap terjegal karena instansi pemrakarsa kerap mengajukan usulan yang sangat ego sektoral.

Halaman Selanjutnya:
Tags: