Hukum Nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak di Indonesia
Terbaru

Hukum Nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak di Indonesia

Praktik nikah mutah atau kawin kontrak dinilai tidak sah oleh hukum karena bertentangan dengan tujuan pernikahan.

Tim Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi nikah mut'ah. Sumber: pexels.com
Ilustrasi nikah mut'ah. Sumber: pexels.com

Meski diselenggarakan secara “agama”, nikah mut’ah atau yang lebih dikenal dengan kawin kontrak dinilai tidak sah. MUI bahkan telah mengeluarkan fatwa haram atas jenis pernikahan ini. Simak ulasan selengkapnya.

Pengertian Nikah Mut’ah

Apa yang dimaksud dengan nikah mut’ah? Al-Musawi dalam Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah mengartikan pengertian nikah mut'ah adalah bentuk perkawinan yang dikenal dalam mazhab Syiah, yaitu perkawinan sementara atau perkawinan terputus di mana seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan untuk waktu sehari, seminggu, atau sebulan. Sederhananya, secara terminologi, nikah mut’ah dapat diartikan sebagai nikah atau kawin kontrak.

Ada banyak alasan mengapa praktik nikah mut’ah dijalankan. Terkait hal tersebut, Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah menerangkan bahwa tujuan dari nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual semata sehingga berbeda dari tujuan pernikahan biasa.

Baca juga:

Jika secara umum tujuannya berbeda, bagaimana dengan cara nikah mut’ah? Penting untuk diketahui bahwa selayaknya pernikahan Islam, dalam praktik nikah mut'ah ada ijab kabul. Bedanya, dalam ijab kabul tersebut, disampaikan periode pernikahan yang disepakati, bisa sekian minggu, bulan, atau tahun.

Selain itu, dalam proses ijab kabulnya, ada formula akad khusus yang wajib dibacakan. Formula akad bagi wanita yakni “zawwajtuka nafsi'' yang berarti ‘saya nikahkan diriku’. Kemudian, bagi pihak pria yakni “qabiltu al-tazwij” yang berarti ‘saya terima nikahnya’ sebagai tanda dirinya menerima wanita tersebut menjadi istrinya.

Sebagai penjelas, menurut Mardani dalam Hukum Perkawinan Islam, ciri-ciri dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut.

  1. Ijab kabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan kata mut’ah;
  2. tanpa wali;
  3. tanpa saksi;
  4. ada ketentuan dibatasi waktu;
  5. tidak ada waris mewarisi antara suami istri; dan
  6. tidak ada talak.

Adakah praktik nikah ini di Indonesia? Ada. Praktik nikah mut’ah atau kawin kontrak di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Salah satu lokasi yang kerap menjadi tempat mencari pengalaman nikah mut’ah atau praktik kawin kontrak di Indonesia adalah Kampung Arab di Puncak, Bogor. Siti Sarah Maripah dalam penelitiannya menerangkan bahwa praktik “kawin kontrak” di kawasan Puncak mulai terdengar sejak 1987, diawali dengan banyaknya kedatangan warga Timur Tengah di tahun 80-an.

Sejarah Nikah Mut’ah

Jika ditinjau dari aspek historis, sejarah nikah mut’ah telah lama ada. Kemunculannya ada di masa pra-Islam, di masa syariat Islam belum ditetapkan secara lengkap. Di masa itu, pernikahan ini diperbolehkan pada saat melakukan suatu perjalanan atau ketika sedang berperang.

Jurnal nikah mut'ah yang ditulis Marzuki menerangkan bahwa Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, menyebutkan bahwa nikah mut’ah pernah diperbolehkan dan diharamkan sebanyak dua kali. Pertama, diperbolehkan sebelum perang Khaibar dan diharamkan ketika masa perang Khaibar. Kedua, diperbolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah atau pembebasan Makkah dan diharamkan setelahnya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.

Mengapa diperbolehkan? Masa perang tersebut merupakan masa peralihan dari zaman jahiliyah. Sebagaimana masa peralihan, banyak hal yang masih memerlukan penyesuaian. Sebelumnya, di zaman jahiliyah, wanita adalah objek yang bisa didapat kapan saja sebagaimana halnya barang. Jarak medan perang yang jauh dari kediaman istri membuat para sahabat yang hendak berperang merasa berat. Oleh karenanya, aturan ini diturunkan sebagaimana bentuk keringanan atas kondisi tersebut.

Hukum Nikah Mut'ah

Bagaimana hukum kawin kontrak dari aspek hukum agama dan hukum negara? Jika meninjau hukum nikah mut’ah dalam Al-Qur’an, surah An-Nisa ayat 24 disebut-sebut sebagai aturan perihal pernikahan ini. Akan tetapi, penafsiran tersebut memiliki perbedaan pandangan yang besar antara paham Syiah dan Sunni.

Diterangkan oleh Miftahatul Qalbi, paham Syiah berpendapat bahwa redaksi istamta’tum surah An-Nisa ayat 24 merupakan akar dari kata mut’ah. Oleh karenanya, pengikut aliran Syiah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah menurut Al-Qur’an adalah sah. Negara berpaham Syiah, seperti Iran bahkan memperbolehkan dan mengatur praktik pernikahan ini dalam hukum kenegaraannya.

Sementara itu, paham Sunni mengharamkan praktik nikah mut’ah. Sunni berpendapat bahwa surah An-Nisa ayat 24 telah ditafsirkan dengan surah Al-Mu’minun ayat 5 hingga 7. Oleh karenanya, surah tersebut tidak berkaitan dengan mut’ah.

Jika ditinjau berdasarkan hukum positif, nikah mut’ah atau kawin kontrak ini dianggap tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 1 jo. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Unsur yang dimaksud antara lain:

  1. tidak memenuhi tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal karena hanya bersifat singkat dan sementara;
  2. tidak dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau tidak sesuai dengan aturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai aturan pernikahan agama Islam; dan
  3. tidak melalui pencatatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, kawin kontrak bertentangan dengan beberapa aturan dalam KHI. Pasal 2 KHI menerangkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Konsep kawin kontrak tidak bertujuan untuk melaksanakan ibadah, hanya sebagai cara menyalurkan nafsu seksual semata.

Selain itu, Pasal 3 KHI menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Mengingat adanya periode yang terbatas dengan tujuan akhir berpisah setelah periode tersebut berakhir, hubungan kawin kontrak tidak memiliki tujuan yang sama sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang hendak dibina dalam kawin kontrak.

Selain tidak sesuai dengan UU Perkawinan dan KHI, nikah mut’ah juga telah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa MUI yang dikeluarkan pada 25 Oktober 1977. Dalam fatwa tersebut, MUI memaparkan bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pensyariatan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.

Selain itu, MUI juga menyebutkan bahwa nikah mut’ah dilarang karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati masyarakat. Oleh sebab itu, MUI menetapkan bahwa pernikahan jenis ini haram dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Simak ulasan hukum premium dan temukan koleksi lengkap peraturan perundang-undangan Indonesia, versi konsolidasi, dan terjemahannya, serta putusan dan yurisprudensi, hanya di Pusat Data Hukumonline. Dapatkan akses penuh dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!

Tags:

Berita Terkait