Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?
Kolom

Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?

Mendengar keterangan yang diberikan saksi ahli dalam kasus korupsi dana non-budgeter Bulog, rasa keadilan masyarakat terusik. Fakta ini terlihat dari berbagai komentar masyarakat yang muncul terhadap keterangan saksi ahli tersebut, seperti terlihat di hukumonline. Bahkan salah satu pemberi komentar dengan lugas menanyakan, "Berapa tarif Prof. Loebby Loqman Cs?".

Bacaan 2 Menit

Rumusan Pasal 1 ayat 1 sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah "barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".

Dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 1971, ayat 1 sub a, diterangkan bahwa batasan keuangan negara, termasuk juga di dalamnya keuangan daerah atau suatu badan-badan hukum yang mengunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Sedangkan batasan negasinya diterangkan, yang tidak termasuk di dalam pengertian keuangan negara adalah kerugian terhadap badan-badan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari swasta, misalnya PT, Firma, CV, dan lain-lain.

Jadi dalam penjelasan Undang-Undang tersebut tidak dibatasi secara tegas definisi "keuangan negara", hanya dijelaskan bahwa di dalamnya terdapat juga hal-hal sebagaimana dijelaskan di atas. Yang dibatasi secara tegas adalah apa saja yang tidak termasuk dalam batasan "keuangan negara". Dengan demikian, interpretasi terhadap pasal ini dimungkinkan secara multiintepretasi dan terbuka. Dalam prakteknya, kembali kepada pemahaman jaksa untuk menggunakan dalam penuntutan, serta pemahaman hakim untuk mempertimbangkan dalam membuat putusan.

Dalam kasus ini, jelas dana yang digunakan adalah dana dari Bulog, yang termasuk dalam rumusan "badan/badan hukum yang menggunakan modal/kelonggaran-kelonggaran dari negara." Karena itu, termasuk dalam batasan keuangan negara. Mengenai kerugian, pada pasal tersebut rumusannya secara lengkap adalah "dapat merugikan& ", sehingga unsur pasal tersebut bahkan tidak harus sudah terjadi kerugian negara. Tindakan yang berpotensi untuk "dapat" merugikan negara pun sudah cukup untuk memenuhi unsur ini.

Pengembalian uang korupsi

Bambang Purnomo dalam keterangannya sebagai saksi ahli menyatakan bahwa dengan mengembalikan uang korupsi, maka posisi terdakwa bisa dikategorikan sebagai tidak bisa dituntut ke pengadilan. Keterangan ini tidak terdapat dasar hukumnya dalam UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 tahun 1999 maupun UU No. 20 tahun 2001.

Secara umum, pada asas hukum pidana, pengembalian objek tindak pidana tidak menghapuskan adanya delik pidana. Bahkan UU No. 31 tahun 1999 Pasal 4 menegaskan, "Pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan pasal 3 undang-undang ini".

Pengembalian uang hasil korupsi tidak berarti menghilangkan unsur telah merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Karena sesuai batasan tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana), suatu delik pidana sudah selesai pada saat seluruh unsur dari delik sudah terpenuhi untuk delik formil atau pada saat akibat dari tindakan tersebut sudah nyata terwujud untuk delik materiil.

Untuk tindak pidana korupsi, unsur kerugian keuangan negara/perekonomian negara sudah terjadi pada saat dilakukan korupsi. Pada saat itu, unsur "merugikan" sudah terpenuhi. Tidak perlu diperdebatkan lagi apakah kerugian tersebut kemudian diganti atau direhabilitasi. Pasalnya, unsur kerugiannya sudah terjadi pada masa yang lampau. Dengan demikian, tidak terdapat alasan adanya pengembalian uang korupsi mengubah status terdakwa menjadi tidak dapat dituntut.

Sudut pandang alternatif

Keterangan saksi ahli sebagai sebuah penjelasan dari seorang pakar pastilah menarik perhatian masyarakat. Tetapi adalah sebuah kesalahan apabila keterangan tersebut, yang isinya adalah sebuah pemahaman terhadap produk hukum, tidak dikritisi dan tidak diberikan sosial kontrol yang ketat dari masyarakat.

Sebagaimana kekuasaan dalam arti umum yang cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannyanya, begitu juga otoritas dalam keilmuan. Tanpa adanya fungsi kontrol akademis dan sosial yang ketat, tidak tertutup potensi penyimpangannya.  Salah satu pendekatan dalam melakukan kontrol tersebut adalah dengan menumbuhkan wacana kritis di masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak hanya menerima pendapat para pakar tersebut dengan mentah-mentah sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, juga memiliki seperangkat analisa untuk dapat menilai seberapa tingkat objektifitas,  sekaligus defiasi yang mungkin terjadi.

Dalam taraf minimal, perangkat analisa tersebut paling tidak berupa sudut pandang alternatif, yang berbeda dengan para pakar tersebut. Sehingga, dapat muncul lebih dari satu pemahaman terhadap produk hukum yang terkait. Dengan demikian, dapat dicegah terjadinya hegemoni kebenaran. Begitu pula terhadap keterangan para pakar yang menjadi saksi ahli dalam kasus dana non-budgeter Bulog.

 

Mahawisnu Tridaya Alam adalah peneliti pada Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat

Tags: