Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?
Kolom

Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?

Mendengar keterangan yang diberikan saksi ahli dalam kasus korupsi dana non-budgeter Bulog, rasa keadilan masyarakat terusik. Fakta ini terlihat dari berbagai komentar masyarakat yang muncul terhadap keterangan saksi ahli tersebut, seperti terlihat di hukumonline. Bahkan salah satu pemberi komentar dengan lugas menanyakan, "Berapa tarif Prof. Loebby Loqman Cs?".

Bacaan 2 Menit

Hal pertama yang harus diluruskan untuk dipahami masyarakat bahwa keterangan saksi ahli tersebut tidak mengikat majelis hakim dalam membuat putusan. Meski yang menyatakan secara keilmuan menguasai bidangnya, tidak terdapat kewajiban majelis hakim untuk mengikuti pemahaman yang diberikan oleh saksi ahli. Sehingga meskipun saksi ahli memberikan keterangan bahwa dengan dikembalikannya uang korupsi, terdakwa seharusnya tidak dipidana,  mejelis tetap berwenang untuk membuat pertimbangannya sendiri.

Kewenangan oportunitas Jaksa Agung

Pakar hukum pidana Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam kasus ini, hendaknya Jaksa Agung menggunakan asas oportunitas yang menjadi kewenangannya. Asas oportunitas adalah kewenangan Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Alasan yang diajukan adalah bahwa terdakwa sudah mengembalikan uang yang dikorupsi tanpa disuruh sebelum proses penuntutan. Dengan demikian, menurut Andi Hamzah, kerugian sudah diganti dan sudah tercapai keseimbangan dalam masyarakat.

Pengertian "demi kepentingan umum" dalam asas oportunitas adalah dalam konteks apabila proses penuntutan tetap dilanjutkan, maka kepentingan umum akan dirugikan. Kepentingan umum ini sangat subjektif sifatnya karena bergantung kepada pemahaman Jaksa Agung. Secara praktis, seringkali kepentingan umum ini disederhanakan menjadi kepentingan kekuasaan pemerintah. Tetapi yang harus digarisbawahi dari penggunaan kewenangan ini adalah dalam hal mencegah resiko adanya kepentingan umum yang dilanggar atau dirugikan. Dalam kasus ini, tidak terdapat resiko adanya kerugian umum, baik dalam arti luas yaitu kerugian kepentingan masyarakat, ataupun dalam arti sempit kerugian kepentingan pemerintah yang mungkin terjadi.

Dengan dikembalikannya uang korupsi, justru semakin memperkecil terjadinya resiko pelanggaran kepentingan umum. Jika uang korupsi masih tidak jelas berada di mana, mungkin Jaksa Agung masih memiliki alasan untuk menggunakan kewenangan oportunitas. Pertimbangannya adalah dengan dikesampingkannya proses pidana, koruptor mungkin akan mempertimbangkan untuk mengembalikan uang negara yang dicurinya. Tetapi apabila uang negara tersebut sudah kembali, tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara ini.

Dalam mempergunakan kewenangannya berdasar asas oportunitas ini, Jaksa Agung hendaknya juga mempertimbangkan kepentingan umum yang lain, tidak hanya kembalinya uang negara. Kepentingan umum yang lain seperti misalnya, rasa keadilan masyarakat tidaklah kalah penting. Adalah sangat tidak bertanggung jawab apabila  penggunaan kewenangan yang berdasar "demi kepentingan umum" ini justru merugikan kepentingan umum dengan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarkat, sehingga berpotensi untuk menimbulkan gejolak.

Pembatasan penafsiran kerugian negara

Sementara itu, pakar hukum pidana Loebby Loqman dalam keterangannya menyatakan bahwa kerugian negara dalam delik korupsi tidak bisa ditafsirkan seluas-luasnya. Loebby mencontohkan duduknya dia sebagai saksi ahli dalam persidangan, padahal digaji setiap bulan untuk mengajar. Batasan kerugian negara menurutnya tidak termasuk dalam contoh  diatas.

Tuntutan jaksa terhadap terdakwa dalam kasus ini adalah berdasar Pasal 1 ayat 1 sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c UU No. 3 tahun 1971 jo Pasal 43 a UU No. 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 65 KUHP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: