Penerapan UU No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) menimbulkan polemik di ruang publik. UU HKPD yang mulai berlaku pada 5 Januari 2024 lalu mendapat keluhan dari kalangan pelaku usaha hiburan. Penyebabnya adalah besaran pajak hiburan khusus ditetapkan sebesar 40-75 persen.
Ketentuan pajak hiburan khusus ini diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Pasal tersebut menyatakan bahwa, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”
Baca juga:
- DJP Permudah Perhitungan PPh 21, Berikut Ketentuannya
- DJP Perjelas Pengaturan Teknis Pajak UMKM, Simak Penjelasannya!
Besaran tarif itu mempertimbangkan jenis hiburan yang hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu. Pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.Pelaku usaha yang keberatan saat ini telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keluhan pelaku usaha hiburan tersebut juga direspons oleh pemerintah. Pemerintah berjanji segera menerbitkan surat edaran berisi insentif fiskal. Insentif itu termasuk keringanan dalam penerapan tarif pajak hiburan khusus sebesar 40-75 persen.
Ketentuan insentif sendiri ada dalam Pasal 101 UU HKPD. Tertulis bahwa dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur/Bupati/Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan masalah ini sudah dibahas Presiden dalam rapat Kabinet Indonesia Maju, Jumat (19/1/2024). "Pemerintah akan mengeluarkan surat edaran terkait dengan Pasal 101 ini," kata Airlangga di Istana Kepresidenan Jakarta, dilansir dari Antara.