Pakar Hukum Keuangan Negara FHUI Usulkan Revisi UU Tipikor
Terbaru

Pakar Hukum Keuangan Negara FHUI Usulkan Revisi UU Tipikor

Perlu ada penegasan unsur pelanggaran tindak pidana korupsi. Saat ini tumpang tindih dengan pelanggaran administrasi yang menyebabkan kerugian keuangan negara.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pakar Hukum Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Dian Puji Nugraha Simatupang mengusulkan agar unsur tindak pidana korupsi direvisi. Riset Dian menemukan terjadi fenomena pemidanaan korupsi yang lebih berdasarkan persepsi alih-alih landasan penilaian hukum yang kuat. Usulan ini disampaikan di sela acara peluncuran bukunya berjudul Keuangan Negara dan Kerugian Negara Perspektif Fenomenologi dan Rekonsiliasi Hukum, Selasa (25/10/2022) kemarin.

“Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlalu multitafsir tanpa batasan yang jelas, akhirnya semua bergantung persepsi. Perlu ada identifikasi apakah benar ada tiga unsur yaitu suap, tipuan, paksaan. Kalau ada maka benar bisa dipidana,” kata Dian kepada Hukumonline.

Menurut Dian, kerugian negara karena salah wewenang, salah prosedur, atau salah pelaksanaan dalam keuangan negara harus diselesaikan dengan mekanisme administrasi.

“Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus memperjelas maksud dari merugikan keuangan negara di Pasal 2 dan penyalahgunaan wewenang di Pasal 3 adalah akibat suap, tipuan, atau paksaan,” kata Dian. Ia meyakini maksud dari mens rea (niat jahat) yang akan dibuktikan dalam peradilan tindak pidana korupsi harusnya adalah terjadinya suap, tipuan, atau paksaan.

Baca Juga:

Ia menegaskan bentuk pelanggaran berupa salah kira yang menyebabkan salah wewenang, salah prosedur, atau salah dalam pengelolaan keuangan negara sudah diatur sanksinya secara administrasi. Dian merujuk Pasal 17-18, Pasal 20, dan Pasal 80-83 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 59 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

“Berdasarkan falsafah hukum keuangan negara, sistem hukum kita sudah mengakui salah wewenang, salah prosedur, atau salah pelaksanaan dalam (pengelolaan, red) keuangan negara diselesaikan secara administrasi,” kata Dian. Ia juga meyakini cara itu lebih efektif.

Mekanisme penyelesaian kerugian negara secara administrasi mengharuskan terduga pelakunya mengembalikan nilai kerugian. Setelah itu ia bisa mengajukan upaya hukum lanjutan jika masih ingin membuktikan tidak bersalah. “Itu final harus dibayar dulu. Misalnya saya merugikan keuangan negara sebesar Rp2 miliar, itu harus dibayar dulu meskipun saya akan mengajukan upaya hukum,” kata Dian memberi ilustrasi.

“Pak Dian sudah berusaha membahas keuangan negara dan kerugian negara tidak hanya dari sudut pasal-pasal dalam undang-undang,” kata Harsanto Nursadi, Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara, dalam sambutan pembuka diskusi peluncuran buku itu.

Ia mengakui karya Dian berhasil memadukan ulasan kritis aspek hukum positif dan perspektif keuangan dengan ringkas. “Tidak banyak yang menulis tentang ini seperti ini. Biasanya kalau dari aspek hukum hanya ulasan pasal-pasal, kalau dari ekonomi hanya bahas kerugian saja,” Harsanto menambahkan.

“Saya lihat buku ini menyoroti batasan keuangan negara dan metode penilaian kerugian negara. Saya lihat ahlinya masih langka saat ini, sekarang salah satunya ada Pak Dian,” kata Satya Arinanto dalam sambutan mewakili jajaran Guru Besar Hukum Administrasi Negara FHUI.

Peluncuran buku ini dihadiri jajaran Guru Besar FHUI lainnya terutama dalam Bidang Hukum Administrasi Negara. Seperti, Profesor Hukum Lingkungan Andri Gunawan Wibisana sekaligus Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan; Profesor Hukum Administrasi Negara Anna Erliyana; Profesor Ilmu Perundang-undangan Maria Farida Indrati terlihat juga turut hadir diantara para tamu undangan.

Tags:

Berita Terkait