Panja RKUHP: Beberapa Rumusan Pasal Masih Terus Diperbaiki
Berita

Panja RKUHP: Beberapa Rumusan Pasal Masih Terus Diperbaiki

Politik hukum DPR merumuskan hukum pidana dalam RKUHP berbeda dengan negara barat. Masyarakat sipil diharapkan memberikan masukan yang konstruktif dalam hal rumusan pasal-pasal yang baik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta koalisi masyarakat sipil yang concern terhadap hukum pidana nasional, memberi masukan terkait rumusan pasal yang baik agar tidak terjadi over kriminalisasi dan pasal karet. “Panja bersedia menerima kritik dan masukan konstruktif terhadap perbaikan perumusan RKUHP. Misalnya, frasa ‘penghinaan’ mesti diganti dengan frasa lain yang diusulkan dari masyarakat sipil. Terkait pasal yang mengatur kontrasepsi umumnya telah menyepakatinya,” lanjutnya.

 

“Tapi kalau ‘maksa’ (usulan dihapus), seperti pasal delik kesusilaan, LGBT, bukan LGBT-nya, tetapi perbuatan cabul sesama jenis jangan dipidana itu sudah masuk politik hukum. Saya juga harus tegaskan, kami memang tidak ingin bikin KUHP dengan alam pikiran filsafat hukum barat, dengan budaya hukum barat. Kalau kita mau ikut mereka ya gak usah diganti KUHP yang sekarang saja.”

 

Tak terburu-buru mengesahkan

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform(ICJR) Anggara Suwahju menilai masih banyak yang perlu diperbaiki dalam RKUHP karena sejumlah rumusan masih belum cukup baik,. Itu sebabnya Anggara meminta DPR dan pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat. Sebab, DPR bakal mengesahkan RKUHP sebelum habisnya masa bhakti periode 2014-2019.

 

“Kita berharap RKUHP tetap mengutamakan kebutuhan akan hukum pidana nasional yang berkualitas,” kata Anggara.

 

ICJR sendiri memiliki beberapa catatan terhadap materi muatan RKUHP. Salah satunya, ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pertama, rumusan Pasal 2 RKUHP tanpa analisis yang panjang dapat dianggap penyimpangan dari ketentuan Pasal 1 RKUHP sebagai asas legalitas (hukum tertulis). “Dengan begitu, RKUHP secara tegas memastikan bahwa ketentuan asas legalitas, tidak lagi menjadi yang utama dalam hukum pidana karena ketentuan itu nyatanya bisa disimpangi,” kata dia.

 

Kedua, dalam penjelasannya, Tim Perumus RKUHP menyebutkan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat. Masalahnya, mayoritas hukum adat di Indonesia tidak tertulis. Bahkan, hukum adat tidak secara tegas memisahkan hukum pidana dan hukum perdata. Artinya, hukum pidana bisa tidak tertulis, dan melanggar pinsip lex scripta.

 

“Lebih berbahaya, dengan pidana adat yang secara struktur tidak memisahkan pidana dan perdata, berarti prinsip lex certa dan lex scripta atau hukum pidana harus jelas dan tegas akan disimpangi,” lanjutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait