Para Dekan Bereaksi Soal Moratorium Penerimaan M.Kn., Dirjen AHU: Saya Konsisten!
Utama

Para Dekan Bereaksi Soal Moratorium Penerimaan M.Kn., Dirjen AHU: Saya Konsisten!

Sebagai instansi yang mengangkat notaris, peningkatan kualitas notaris dengan memperketat seleksi adalah bagian dari kewenangan yang melekat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Plt Dirjen AHU Freddy Harris. Foto: NEE
Plt Dirjen AHU Freddy Harris. Foto: NEE

Berbagai reaksi bermunculan atas pernyataan yang dilontarkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Freddy Harris akhir pekan lalu, terkait dengan penghentian penerimaan mahasiswa baru Magister Kenotariatan (M.Kn.). Kebanyakan keberatan berasal dari kalangan calon notaris yang merasa sudah bersusah payah menempuh pendidikan untuk menjadi notaris.

 

Dalam wawancara singkat dengan hukumonline, Selasa (30/1), di ruang kerjanya, lantai 8 Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Freddy kembali menegaskan bahwa dirinya konsisten dengan apa yang disampaikan sebelumnya saat di Solo pekan lalu. Freddy tetap dalam rencananya untuk meminta moratorium penerimaan M.Kn. per tahun 2018.

 

“Jadi. Kami tetap akan surati Kemenristekdikti. (Program M.Kn.) yang tidak sesuai kompetensi juga tolong ditutup,” ujarnya saat ditanya hukumonline apakah permintaan moratorium jadi dilaksanakan atau tidak.

 

Para pimpinan dari enam kampus perintis program M.Kn. tampak mengunjungi Dirjen AHU di kantornya kemarin. Pertemuan dadakan ini dalam rangka membicarakan tindak lanjut pernyataan Dirjen AHU dalam forum Rapat Pleno Pusat Yang Diperluas (RP3YD) sekaligus Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan bagi Ikatan Notaris Indonesia(INI) lalu di Solo. Moratorium penerimaan mahasiswa M.Kn. per tahun 2018 yang akan diminta oleh Kemenkumham kepada Menristekdikti menjadi hal utama yang dibicarakan.

 

(Baca Juga: Kemenkumham Pastikan Mulai 2018 Penerimaan M.Kn. Harus Dihentikan)

 

Hadir dalam kunjungan ini antara lain Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) Prof. Dr. R Benny Riyanto, S.H., M.Hum., C.N, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH UNPAD) Prof. Dr. An An Chandrawulan S.H., LL.M.  

 

Kemudian Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Nurul Barizah S.H., LL.M., Ph.D., dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof. Melda Kamil Ariadno, SH, LL. M., Ph. D didampingi Ketua Program Pascasarjana FH UI Prof. Rosa Agustina serta Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. Ismala Dewi.

 

Para pimpinan fakultas hukum penyelenggara pendidikan kenotariatan ini adalah kampus-kampus besar yang merintis program M.Kn. ketika pertama kali dibentuk 17 tahun silam pada tahun 2000.

 

“Kami langsung minta untuk bertemu begitu baca beritanya untuk memperjelas ini maksudnya Pak Dirjen apa,” kata Dekan FH UI, Prof. Melda saat berbincang santai di sesi jamuan makan siang. Keenam kampus ini sekaligus mewakili Badan Kerja Sama Dekan FH Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia(BKS) (www.bksfhnasional.org).

 

“Kami senang dengan inisiatif mereka menemui Dirjen AHU dalam rangka membicarakan M.Kn. Rata-rata sepakat kurikulum dan tenaga pengajar harus dibenahi, juga memperjelas, ini kayak banci nih M.Kn., magister, spesialis, atau profesi,” kata Freddy.

 

(Baca: Jalan Panjang Berliku, Kini Menjadi Notaris Harus Lulus 4 Ujian Khusus)

 

Kunjungan para Dekan atas nama BKS tak megubah rencananya semula. Freddy keberatan jika instansinya dianggap melampaui batas kewenangan. Pihaknya sadar bahwa menghentikan penerimaan M.Kn. ataupun pembukaan program M.Kn. adalah kewenangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Untuk itulah, mereka akan mengirimkan surat resmi ke sana. Hanya saja memang disertai tuntutan tegas jika permintaan mereka ditolak.

 

“Sama dengan perusahaan soal pendidikan S.E. atau S.T., bukan kewenangan perusahaan, tapi perusahaan boleh dong kasih syarat kalau mau masuk perusahaan dia syaratnya apa saja, akreditasi kampus, IPK misalnya,” jelasnya soal pernyataan tidak akan mengakui lulusan M.Kn. yang diterima pada tahun 2018 dan seterusnya jika belum dilakukan evaluasi bersama.

 

Pihaknya merasa bahwa langkah ini juga untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pemerintah semata. Ia merasa ada pandangan yang terlanjur keliru di masyarakat bahwa semua lulusan M.Kn. pasti bisa diangkat menjadi notaris.

 

(Baca Juga: Menristekdikti Hapus M.Kn., Begini Sikap Ikatan Notaris Indonesia)

 

Ia menolak tanggapan salah satu pimpinan FH penyelenggaran M.Kn. yang berpendapat bahwa M.Kn. tidak hanya untuk mereka yang akan menjadi notaris, namun bisa juga diserap di perbankan atau sektor lainnya. “Langsung saya bantah, nggak, 95% itu masuk M.Kn. karena mau jadi notaris, kalau toh dia nggak jadi notaris itu pengecualian, jangan dibalik,” tegasnya.

 

Ditjen AHU menargetkan segala kekisruhan soal program kenotariatan ini harus selesai pada pertengahan 2018. “Di pertengahan tahun harus bisa settlement semuanya, jadi masyarakat nggak dirugikan lagi,” tandasnya.

 

Ditjen AHU merasa terganggu menjadi pihak yang disalahkan lulusan M.Kn. jika tidak berhasil diangkat menjadi notaris. Padahal jumlah penerimaan dan lulusan yang tidak terkendali adalah tanggung jawab Kemenristekdikti dan universitas. Sementara kualitas serta formasi penerimaan notaris harus sesuai kebutuhan dan tidak bisa dibuka luas setiap waktu.

 

“Bahkan ada kampus swasta yang menerima mahasiswa M.Kn. langsung 1500, itu kan konyol,” ujar Freddy.

 

Belum ada standardisasi kurikulum baku

Dalam pertemuan ini terungkap pula masalah serius bahwa hingga saat ini belum ada standardisasi kurikulum baku yang ditetapkan bersama-sama antar penyelenggara pendidikan kenotariatan. Kurikulum masih mengandalkan kesepakatan 6 perintis program M.Kn. selama 17 tahun diselenggarakan. Tidak ada standar yang dituangkan dalam regulasi oleh Kemenristekdikti.

 

Dekan FH UNDIP selaku Ketua BKS, Prof. Benny Riyanto mengatakan belum ada kesepakatan tertulis soal standardisasi kurikulum pendidikan kenotariatan. “Jadi belum ada standardisasi, sampai saat ini, standardisasi hitam di atas putih regulasi nggak ada, hanya kesepakatan bersama 6 PTN perintis M.Kn.,” jelasnya.

 

Akibatnya, ia menemukan adanya penyelenggara M.Kn. di kampus swasta belakangan ini leluasa membuat mata kuliah yang tidak berhubungan dengan kebutuhan praktik. “Bahkan ada dua mata kuliah pokok di kampus negeri malah digabung jadi satu, agar mahasiswa lebih mudah. Lalu ditambah mata kuliah yang tidak penting,” katanya.

 

Soal bagaimana program M.Kn. mendapatkan akreditasi, Benny menjelaskan bahwa keseragaman kurikulum standar tidak menjadi poin penilaian akreditasi. “Akreditasi BAN PT jalan, tapi juga tidak ada pedoman keseragaman kurikulum. Paling dicek ada kurikulumnya atau tidak, nah itu kan bisa sesuai selera masing-masing,” katanya.

 

Ia mengakui bahwa meskipun pernyataan Freddy kontroversial, pada dasarnya tepat sasaran. “Boleh dikatakan statement yang sangat bagus, meskipun bisa dipilah-pilah, sangat mengena,” katanya saat diwawancarai hukumonline usai kunjungan.

 

Benny membenarkan saat ini ada persoalan serius soal penyelenggaraan pendidikan kenotariatan. Dalam hal ini ia menjelaskan langkah BKS segera menemui Dirjen AHU sebagai langkah responsif untuk menindaklanjuti wacana ini agar benar-benar menjadi solusi dan bukannya masalah baru.

 

Tags:

Berita Terkait