​​​​​​​Paradoks Perjanjian Kerjasama antara APIP dan APH Oleh: Enrico Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Paradoks Perjanjian Kerjasama antara APIP dan APH Oleh: Enrico Simanjuntak*)

​​​​​​​Sebelum perjanjian ini benar-benar diterapkan lebih jauh masih terbuka ruang untuk merevisinya, agar disesuaikan dengan koherensi berbagai legislasi dan regulasi terkait maupun kaidah hukum lain yang lebih relevan.

Bacaan 2 Menit

 

Merujuk pada UNCAC, ada enam tindakan yang bersifat non-mandatory offences sebagai korupsi, yakni: (1) memperdagangkan pengaruh; (2) penyalahgunaan fungsi; (3) memperkaya secara tidak sah; (4) penyuapan di sektor swasta; (5) penggelapan kekayaan dalam sektor swasta; dan (6) penyembunyian.

 

Perbuatan memperdagangkan pengaruh (trading influences) dan penyalahgunaan fungsi (abuse of functions) sangat erat kaitannya dengan persfektif hukum administrasi, jika dikaitkan dengan konsepsi penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir) atau abuse of power.

 

Di samping itu, harmonisasi hukum administrasi dan hukum pidana juga perlu meliputi aspek sinkronisasi pengertian kerugian keuangan negara, ketentuan pengembalian kerugian negara, pilihan penerapan sanksi dan sebagainya. Ketidaksinkronan aturan hukum membuka lebar-lebar terjadinya pelanggaran larangan non-double jeopardy dalam penegakan hukum terkait korupsi. Kumulasi sanksi memungkinkan penerapan sanksi pidana, adminitrasi, dan/atau perdata bagi pelaku korupsi administrasi, sehingga mengaburkan konsep primum remedium dan ultimum remedium.

 

Akhir kata, sebelum PKS ini benar-benar diterapkan lebih jauh masih terbuka ruang untuk merevisinya, agar disesuaikan dengan koherensi berbagai legislasi dan regulasi terkait maupun kaidah hukum lain yang lebih relevan.

 

*)Enrico Simanjuntak adalah Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Indonesia.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait