Pasien Cuci Darah Minta MA Batalkan Perpres Kenaikan Iuran JKN
Utama

Pasien Cuci Darah Minta MA Batalkan Perpres Kenaikan Iuran JKN

Kebijakan itu berdampak serius bagi pasien cuci darah yang kurang mampu dan tidak bisa mengurus Penerima Bantuan Iuran. Resikonya, mereka akan menunggak bila iuran dinaikkan 100 persen. Menunggak sama saja berpotensi mengancam nyawa mereka karena terhenti pelayanan terapi cuci darahnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia bersama kuasa hukumnya usai mendaftarkan uji materi Perpres 75/2019 di Gedung MA Jakarta, Kamis (5/12). Foto: AID
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia bersama kuasa hukumnya usai mendaftarkan uji materi Perpres 75/2019 di Gedung MA Jakarta, Kamis (5/12). Foto: AID

Setelah digugat komunitas advokat, giliran Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) melayangkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen ke Mahkamah Agung (MA).  

 

Mereka beralasan Perpres No. 75 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi dan diundangkan pada 24 Oktober ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945; UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS); dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 

Kuasa Hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa mengatakan pasien cuci darah dan ginjal umumnya warga negara yang perekonomiannya menengah ke bawah (peserta BPJS mandiri) yang belum terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sebab, selama hidupnya sudah bertahun-tahun mereka tidak produktif untuk mencari nafkah.

 

“Aturan ini sangat memberatkan, kami menganggap Perpres ini perlu dievaluasi lagi dan dibatalkan,” kata Rusdianto usai mendaftarkan uji materi Perpres 75/2019 di Gedung MA Jakarta, Kamis (5/12/2019). (Baca Juga: Komunitas Advokat Ini Minta Perpres Kenaikan Iuran JKN Dibatalkan)

 

Dia menerangkan jaminan sosial yang mencakup penyelenggaraan jaminan kesehatan yang terjangkau merupakan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya dijamin pemerintah sesuai amanat UUD Tahun 1945. Menurutnya, kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga negaranya sesuai amanat UU ternyata telah beralih menjadi kewajiban warga negara guna menjamin kesehatannya sendiri dan kesehatan warga negara lainnya yang ditanggung secara gotong royong.

 

Perangkat peraturan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lebih menekankan hak warga negara berubah menjadi kewajiban warga negara kepada negara, dimulai saat  membayar iuran kepesertaan yang nilainya ditentukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa memperhatikan kemampuan warga negaranya.

 

“Ini pembayaran iuran BPJS oleh peserta mandiri (seolah) seperti membayar kewajiban pajak, dimana bila warga negara tidak mampu membayar (menunggak) akan dikenakan denda dan sanksi lain akibat ketidakmampuannya membayar iuran kepesertaan,” kritiknya.

 

Menurut Rusdi, Perpres No. 75 Tahun 2019 sebagai kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada 2020 tanpa dasar yang jelas dan perhitungan yang logis. Jika alasannya hanya untuk menutupi kerugian yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dalam tata kelola penyelenggaraan BPJS. “Kenapa masyarakat kelas menengah ke bawah yang dibebani yang justru masih memiliki daya beli rendah?”

 

“Seharusnya pemerintah bertindak lebih bijak, dimana anggaran kesehatan yang mendapat porsi sebesar minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat lebih diprioritaskan untuk pelayanan kesehatan masyarakat guna mengurangi beban rakyat.”

 

Keberatan

Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir keberatan atas kebijakan pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen untuk peserta BPJS mandiri semua kelas yang secara ekonomi kurang mampu. “Kami ingin menyampaikan kebijakan itu juga mempunyai dampak serius bagi pasien cuci darah yang kurang mampu, tapi tidak bisa mengurus PBI (Penerima Bantuan Iuran),” keluhnya.

 

Menurut Tony, umumnya produktivitas pasien gagal ginjal mengalami penurunan karena 1-2 minggu sampai tiga kali harus cuci darah. Belum lagi, banyak diantara mereka mengalami PHK karena sering tidak masuk kerja. Sedangkan yang belum bekerja akan sulit memasuki dunia kerja.

 

“Kebanyakan mereka peserta BPJS Kesehatan mandiri, kesulitan mengurus PBI di Dinas Sosial. Resikonya, mereka akan menunggak bila iuran dinaikkan 100 persen. Menunggak sama saja berpotensi mengancam nyawa mereka karena terhenti pelayanan terapi cuci darahnya,” tuturnya.

 

Dia menegaskan KPCDI menyatakan jaminan kesehatan dan sosial adalah hak rakyat, maka negara harus menyelenggarakan satu sistem jaminan sosial dan memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 28H dan Pasal 34 UUD Tahun 1945.

 

Karena itu, KPCDI meminta agar MA menyatakan Perpres No. 75 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) UUD Tahun 1945; Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d dan e), Pasal 17 ayat (3) UU SJSN; Pasal 2, 3, 4 ( huruf b, c, d dan e) UU BPJS; Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU Kesehatan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Sebelumnya, gabungan advokat dan praktisi hukum juga “menggugat” Perpres No. 75 Tahun 2019 ini terkait kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen ke MA. Mereka beralasan Perpres ini bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya bertentangan dengan Pasal 5 huruf f (asas kejelasan rumusan) dan Pasal 6 huruf g (mencerminkan asas keadilan). Karena itu, Perpres 75/2019 ini layak dibatalkan karena cacat hukum sejak terbit.

 

Seperti diketahui, Perpres No.75 Tahun 2019 diantaranya memuat kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen. Rinciannya, iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (PB) mengalami kenaikan hingga 100 persen (peserta mandiri). Pasal 34 PP 75/2019 ini menyebutkan perubahan iuran terbagi dalam tiga kategori. Pertama, untuk Kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp. 42.000. Kedua, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000. Ketiga, Kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Iuran ini berlaku mulai Januari 2020 mendatang.

Tags:

Berita Terkait