Pedoman Interpretasi UU ITE
Kolom

Pedoman Interpretasi UU ITE

Permasalahan multitafsir dari peraturan UU ITE bukan berada di ranah Legislatif dan Yudikatif, akan tetapi berada di ranah Eksekutif itu sendiri.

Bacaan 5 Menit

Eksekutif tidak dilarang untuk membuat pedoman interpretasi, akan tetapi pedoman itu digunakan untuk produk hukum yang dibuatnya sendiri, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Presiden (Perpres). Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan pedoman interpretasi untuk peraturan Eksekutif yang mengikat. Lain halnya dengan pedoman interpretasi terhadap UU ITE yang dibuat oleh DPR. Pedoman interpretasi UU ITE yang dibuat oleh pemerintah tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat karena terlepas dari kekuasan legislatif yang membuat UU.

Adapun kekuasaan yudikatif memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan UU dan penjelasannya berdasarkan suatu perkara kongkret. Hakim di pengadilan menggunakan UU dan penjelasannya sebagai dasar hukum untuk memutus perkara. Hakim bertindak sebagai wasit berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh legislatif dan diterapkan dalam masyarakat.

Interpretasi Hakim di Pengadilan dalam Perkara Kongkret

Dalam sistem Common Law, putusan hakim dapat menjadi preseden yang mengikat bagi hakim setelahnya atas perkara yang memiliki kesamaan peristiwa. Hakim memiliki asas diskresi dalam memutus perkara sehingga hakim dapat menciptakan hukum (judge made law). Hakim menganggap perlu menutupi peristiwa kongkriet yang belum ada hukumnya. Kekosongan hukum itu dianalogikan sebagai penumbra dalam peristiwa gerhana matahari.  Posisi sudut pandang dari bagian bumi lainnya membuat seseorang melihat gerhana matahari tidak tertutup total sehingga menyisakan ruang yang bercahaya. Itulah yang disebut sebagai penumbra.

Sayangnya sistem hukum kita membatasi hakim melakukan kewenangan yang demikian. Hakim menggunakan UU ITE dan Penjelasannya dalam memutus perkara kongkret di pengadilan. Perluasan yang digunakan dengan menggunakan tafsir. Karena hakim sebagai wasit, ia dapat memutus apakah suatu perilaku individu telah melanggar UU atau tidak melalui tafsir yang tidak dapat keluar dari peraturan yang sah. Sesuai dengan prinsipnya, hakim dianggap telah mengetahui seluruh hukum dan hakim dapat menggali nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Tentunya apa yang dimaksud dengan hakim dapat menggali nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat adalah perluasan penafsiran UU yang sah.

Dengan adanya pedoman interpretasi UU ITE, maka pemerintah telah mengambil fungsi Penjelasan UU ITE dan juga telah mengambil kewenangan hakim dalam menafsirkan UU ITE. Tindakan yang demikian adalah melanggar pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan negara berdasarkan hukum. Pedoman interpretasi UU ITE yang dibuat oleh pemerintah bukanlah hukum yang dapat mengikat hakim dalam melakukan peran aktifnya menggali nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Pemerintah sebaiknya tidak melanggar fungsi dan kewenangan lembaga tinggi negara yang telah diberikan landasan hukumnya dalam UUD 1945.

Pemerintah sebagai Eksekutif hanya melaksanakan apa yang tertuang di dalam UUD 1945. Pemerintah tidak dapat mengenyampingkan peran DPR sebagai wakil rakyat yang juga memiliki kekuasaan negara. Permasalahan multitafsir dari peraturan UU ITE bukan berada di ranah Legislatif dan Yudikatif, akan tetapi berada di ranah Eksekutif itu sendiri.

Pengaduan yang dilakukan individu atas penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian dan permusuhan dapat disaring oleh kepolisian ketika individu melakukan pengaduan atas peristiwa yang terjadi. Hal ini dapat dibuat pedoman tersendiri dalam wilayah kepolisian, bukan pedoman interpretasi dari UU ITE. Intinya, pemerintah sebagai Eksekutif tidak dapat bertindak melampaui kekuasaan yang diberikan dengan mengambil peran Legislatif dan Yudikatif, membuat pedoman interpretasi UU ITE.

*)Dr. Chandra Yusuf, S.H., L.LM., MBA., M.Mgt, Dosen Magister Kenotariatan Universitas YARSI dan Pendiri Forum Hukum Bisnis (FORHUBIS).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait