Pedoman KPPU Soal Waralaba Dikritik Pengusaha Franchise
Berita

Pedoman KPPU Soal Waralaba Dikritik Pengusaha Franchise

KPPU menetapkan Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Asosiasi Franchise Indonesia menganggap KPPU belum paham soal waralaba.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Pedoman KPPU Soal Waralaba Dikritik Pengusaha <i>Franchise</i>
Hukumonline

 

Dengan demikian, kata Junaidi, perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi kepada penerima waralaba. Sedangkan tentang perjanjian yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun berkaitan dengan waralaba, tidak termasuk yang dikecualikan, katanya. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan UU No. 5/1999 dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut, tambahnya.

 

Syarat Perjanjian Waralaba

Menurut Junaidi, dalam perjanjian, biasanya pemberi waralaba menetapkan berbagai persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas usaha, standar pelayanan, dan barang dan/atau jasa yang dipasarkan. Persyaratan yang demikian biasanya untuk menjaga HKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga dapat dikecualikan dari penerapan UU No. 5/1999.

 

Namun, sambungnya, dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat klausula yang dapat menghambat atau memberikan batasan kepada penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal terdapat persyaratan yang demikian, maka perjanjian waralaba tersebut tidak dikecualikan dari penerapan UU No. 5/1999.

 

Selain itu perlu disadari juga bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula mengandung ketentuan atau klausul yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba. Klausul yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan UU No. 5/1999 yang menginginkan adanya efisiensi, kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pengembangan teknologi, terang Junaidi.

 

KPPU Tidak Paham

Pedoman KPPU Pasal 50 huruf b ini ternyata tidak serta merta dapat diterima begitu saja oleh kalangan usaha. Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengatakan, sebaiknya KPPU tidak terburu-buru mengambil suatu sikap bila tidak menguasai masalah. Perlu diingat, franchise itu cukup mendalam bila mau dibahas. Jadi kalau belum menguasai masalahnya, sebaiknya KPPU jangan ngomong atau mengambil keputusan, cetusnya.

 

Banyak yang dikritik Anang dari Pedoman KPPU tersebut. Misalnya mengenai penentuan harga (price fixing). Menurutnya, selama ini pemberi waralaba umumnya menganjurkan suatu harga yang direkomendasikan (recomended price). Dasar dari recommended price adalah cara menghitung harga pokok suatu barang. Selama ini, kata Anang, semua pemberi waralaba selalu memberitahukan hal itu kepada penerima waralaba. Jadi, itu tidak ada kaitannya dengan price fixing yang curang, lanjutnya.

 

Dia juga  menjelaskan, sebenarnya keunikan di bisnis franchise terletak di assortment (pilihannya), dan sudah seharusnya di suatu usaha waralaba harus memenuhi kriteria prinsip pareto (mensubsidi pihak yang lemah tanpa merugikan pihak yang diuntungkan). Tapi saya pikir KPPU juga tidak paham soal itu, tukasnya. Lalu, mengenai wilayah. Menurut Anang selama ini penentuan wilayah didasarkan pada analisa pasar. Tidak mungkin seorang franchiser mendirikan outlet tanpa didasari analisa yang matang. Kalau memang pasarnya bagus, kenapa tidak, ujar Anang. Toh di Cina saja outlet Mc Donald bisa ada tiga di satu mal, tambahnya.

Agar tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5/1999 terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

 

Tak bisa dipungkiri bisnis jenis waralaba telah menjamur di Negeri ini. Kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain di bidang makanan siap saji (fast food), jasa konsultasi, minimarket, jasa kesehatan, rekreasi dan hiburan, serta sistem pendidikan adalah buktinya. Terkait dengan perkembangan tersebut, Pemerintah memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara kondusif.  

 

Pada hakikatnya, penerima waralaba (franchise) dalam menjalankan usahanya memakai sistem usaha yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) bedasarkan suatu perjanjian. Perjanjian antara pemberi dan penerima waralaba berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu dasar yang harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Namun, karena suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, yakni pemberi waralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralabanya kepada penerima waralaba, maka perjanjian waralaba mencakup juga perjanjian lisensi yang merupakan salah satu jenis dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

 

UU No. 5/1999 memberikan pengecualian untuk tidak memberikan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 50 huruf b. Termasuk yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 adalah perjanjian yang berkaitan dengan HKI antara lain menguasai lisensi.

 

Namun, KPPU menganggap dalam praktek terdapat perjanjian yang terkait dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam katentuan Pasal 50 huruf b, ujar A. Junaidi, Direktur Komunikasi KPPU. Menyadari hal tersebut, maka penarapan ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembentukan Undang-Undang tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif.

Tags: