Pekerjaan Rumah Membersihkan Perilaku Koruptif dalam Sistem Peradilan
Reformasi Peradilan:

Pekerjaan Rumah Membersihkan Perilaku Koruptif dalam Sistem Peradilan

Salah satu poin krusial dalam upaya mereduksi perilaku koruptif di lembaga peradilan adalah mengevaluasi fungsi pengawasan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Tetapi patut dicatat, dan itu pula yang terungkap dalam forum diskusi IJRF, perilaku koruptif yang melibatkan tenaga teknis dan nonteknis peradilan itu tidak berdiri sendiri. Perbuatan suap selalu melibatkan aparat penegak hukum lain, terutama advokat. Aparat penegak hukum lain, jaksa dan polisi juga pernah terseret kasus korupsi. Dari kalangan jaksa ada Kajari Pamekasan Rudi Indra Prasetya, Fahrizal dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, dan jaksa yang tertangkap OTT di awal masa berdirinya KPK Urip Tri Gunawan.

Perilaku koruptif bisa ditemukan dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana. Relasi antar penegak hukum sangat menentukan. Perkara tidak akan lanjut ke penuntutan jika penyidik tidak melimpahkan penyidik, dan tidak akan disidangkan hakim jika tidak dilimpahkan penuntut umum. Secara umum, inilah gambaran proses peradilan yang ada di Indonesia, di mana relasi antar satu lembaga penegak hukum dengan lembaga lainnya bersifat saling menentukan. Namun demikian, rangkaian proses pada masing-masing lembaga tersebut masih rawan praktik korup. Pada 2010, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menyebutan bahwa penerbitan SP3 oleh penyidik berpotensi besar menjadi objek pemerasan.

Pungli dan maladministrasi

Pekerjaan rumah bersama memberantas perilaku koruptif tak selalu berurusan dengan suap. Tim Saber Pungli, misalnya, menerima tak kurang dari 31 ribu pengaduan dari masyarakat, dan beberapa kali juga melakukan penangkapan. Kajian Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pengaduan ke Komisi Yudisial dan laporan yang masuk ke Ombudsman Republik Indonesia bisa dijadikan contoh lain.

MaPPI mencatat praktik pungutan liar paling sering terjadi di pengadilan adalah manakala para pencari keadilan ingin memperoleh salinan putusan dan salinan berkas perkara. Terungkap pula bahwa praktik suap di lingkungan pengadilan tidak hanya dilakukan berkaitan dengan substansi perkara, melainkan juga terhadap aspek lain di luar perkara seperti layanan lembaga peradilan terhadap masyarakat. Dalam penelitiannya, MaPPI menemukan bahwa dari 327 orang responden yang diwawancarai, sebanyak 195 orang mengeluhkan telah menemukan hambatan dalam mengakses salinan putusan; dan sebanyak 136 responden mengeluhkan sering mendapatkan hambatan serupa dalam mendapatkan salinan berkas perkara. (Baca juga: Pungli Layanan Pengadilan Mesti Jadi Perhatian MA).  

Hambatan dimaksud antara lain penarikan pungutan liar oleh oknum petugas yang melakukan penarikan di luar nominal yang telah ditentukan.  “Standar yang ditetapkan (untuk memperoleh salinan putusan) adalah Rp300 per lembarnya. Tapi mereka membayar mayoritas Rp500 ribu sampai Rp1 juta atau sekitar 63%. Sementara 20 sekian persen itu membayar melebihi Rp1 juta,” ujar Ketua Harian MaPPI, Choky Ramadhan, kepada hukumonline.

Praktik seperti ini tentu bertentangan dengan hak masyarakat untuk memperoleh salinan putusan dan salinan berkas perkara yang merupakan bagian dari layanan keterbukaan informasi di pengadilan. Mahkamah Agung sendiri sebenarnya sudah menjamin hak masyarakat terhadap kedua jenis layanan tersebut melalui SK-KMA No. 1-114/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan yang mewajibkan pengadilan untuk membuka akses publik terhadap informasi di pengadilan.

Komisioner Ombudsman, Ninik Rahayu menjelaskan bidang penegakan salah satu bidang yang menonjol dalam laporan yang masuk ke Ombudsman. “Di dalamnya antara lain laporan terkait putusan pengadilan, proses penyidikan perkara, layanan penegakan hukum, serta pelanggaran HAM masa lalu,” ujar Ninik.

Tags:

Berita Terkait