Pekerjaan Rumah Membersihkan Perilaku Koruptif dalam Sistem Peradilan
Reformasi Peradilan:

Pekerjaan Rumah Membersihkan Perilaku Koruptif dalam Sistem Peradilan

Salah satu poin krusial dalam upaya mereduksi perilaku koruptif di lembaga peradilan adalah mengevaluasi fungsi pengawasan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Terkait dengan isu pengawasan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, peningkatan akuntabilitas dan kualitas pelayanan pengaduan bagi masyarkat. Pendisiplinan dan pemeriksaan hakim bermasalah yang dilakukan oleh MA maupun Majelis Kehormatan Hakim (MKH), baik proses maupun hasilnya, selama ini masih terkesan tertutup (tidak transparan) sehingga pada akhirnya menimbulkan kecurigaan di masyarakat.

Kedua, penjatuhan sanksi terhada Hakim yang tidak memberikan efek jera. Dalam diskusi IJRF terungkap keputusan MA dan KY untuk memproses perkara suap hakim pada level sanksi administratif cukup mengecewakan. Sekalipun sanksi yang diberikan berakibat sampai pada pemecatan hakim, namun perkaranya tidak berlanjut sampai proses hukum.

Fungsi pengawasan bisa tidak sinkron dengan fungsi pembinaan di lingkungan peradilan dapat dilihat dari langkah MA yang masih mempromosikan hakim yang pernah mendapatkan sanksi atau diduga bermasalah. Pada tahun 2012, seorang hakim PN Jakarta Barat yang terungkap di sidang pengadilan meminta uang kepada terdakwa kasus korupsi malah mendapatkan promosi menjadi hakim tinggi di Aceh.  Pada tahun 2013, Mahkamah Agung mempromosikan mantan Ketua Pengadilan Negeri Klas 1A Bandung, SBP, menjadi hakim Pengadilan Tinggi Makassar. Padahal SBP sebelumnya disebut hakim Setyabudi ikut menerima kecipratan uang bernilai ratusan juta untuk mengamankan perkara bantuan sosial (bansos) Kota Bandung. Dalam dakwaan jaksa dinyatakan, Setyabudi meminta dana sebesar Rp 500 juta dan 120 ribu dolar AS melalui mantan sekda Kota Bandung, Edi Siswadi. Uang haram itu kemudian dibagi-bagikanya kepada beberapa hakim dan pejabat PN Bandung lainnya. Salah satunya adalah Ketua PN Bandung, SBP, yang disebut Setyabudi ikut menerima sebesar 15 ribu dolar AS.

Pada tahun 2015, seorang hakim agung mendapat promosi menjadi ketua kamar padahal dalam persidangan terungkap sang hakim agung bertemu presiden direktur suatu perusahaan, yang kemudian menjadi terseret kasus penyuapan Bupati Bogor.

Kasus-kasus semacam ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan jika ingin memberantas perilaku koruptif di lingkungan peradilan. Sejumlah kebijakan memang sudah diterbitkan untuk mengurangi potensi perilaku lancung aparat peradilan. Misalnya, tiga beleid pembinaan dan pengawasan apparatus pengadilan (Perma No. 7, No. 8, dan No. 9 Tahun 2016). (Baca juga: Ketua MA Keluarkan Maklumat Pengawasan Aparat Peradilan, Simak Isinya!).

Ketua Mahkamah Agung HM Hatta Ali sudah menyebut Tahun 2017 sebagai tahun pembersihan oknum peradilan. Kini di tahun 2018, semangat pembersihan itu tak seharusnya surut. Sebab, pembersihan perilaku koruptif adalah bagian penting dari peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Sekecil apapun pungli dalam pelayanan itu tetap harus jadi perhatian Mahkamah Agung ke depan.

Tags:

Berita Terkait