Pembalikan Beban Pembuktian Hukum Administrasi Perpajakan
Kolom

Pembalikan Beban Pembuktian Hukum Administrasi Perpajakan

Penggunaan UU Pengadilan Pajak dalam proses keberatan seharusnya menjadi terobosan baru untuk menentukan cara pandang penyelesaian sengketa pajak.

Bacaan 5 Menit

Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU KUP mengatur antara lain bahwa jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kecuali Direktur Jenderal Pajak dapat membuktikan ketidakbenarannya. Merujuk pada pasal tersebut maka beban pembuktian terkait munculnya sengketa pajak berada di pihak Fiskus dengan asas hukumnya yang terkenal yaitu actori incumbit probatio, actori onus probandi yang artinya siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan. 

Hal ini tentunya harus menjadi suatu pertimbangan yang mendalam bagi Fiskus baik dalam proses pemeriksaan maupun penyelesaian keberatan. Tidak jarang fiskus menetapkan DPP PPN berasal dari teknik ekualisasi omzet akibat temuan dari uji arus piutang pada sengketa PPh Badan padahal di Pasal 4 ayat (1) UU PPN terdapat persyaratan penyerahan barang atau jasa dinyatakan sebagai penyerahan BKP atau JKP yang terutang PPN. 

Dalam contoh ini, Hakim Pengadilan Pajak akan memberikan beban pembuktian kepada Fiskus sebagai Terbanding sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) UU KUP dan hal ini tentu sangat menyulitkan. Dalam proses pemeriksaan pajak, secara pragmatis telah terjadi ketidaksetaraan atau keseimbangan peran dari Wajib Pajak dengan Pemeriksa

apakah tidak ada pembalikan beban pembuktian dalam hukum perpajakan? Mengingat bahwa beban pembuktian dalam hukum pajak secara umum dilakukan menggunakan Pasal 12 ayat (3) UU KUP maka untuk pembalikannya merupakan hal yang khusus yang tentunya mempunyai sifat terbatas dan berimbang.

Terbatas artinya diperlukan kondisi tertentu untuk memberlakukannya sedangkan berimbang maksudnya adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara Wajib Pajak dengan Fiskus dalam beban pembuktiannya. Pasal 26 ayat (4) UU KUP mengatur antara lain bahwa Wajib Pajak diharuskan membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam proses keberatan jika Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT meskipun telah ditegur secara tertulis, dan tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. 

Kondisi yang diperlukan adanya pembalikan beban pembuktian adalah Fiskus dapat membuktikan telah disampaikan surat teguran kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT atau terbukti Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban Pasal 28 dan 29 UU KUP. Ketetapan pajak yang terbit dalam hal ini adalah Surat Ketetapan Pajak secara jabatan dengan sanksi administrasi Pasal 13 ayat (3) UU KUP.

Proses keberatan sebagai kuasi peradilan atau peradilan semu tentunya mempunyai peran strategis dalam menegakan keadilan substantif sesuai yang diinginkan oleh para pemangku kepentingan. Peneliti sengketa pajak pada proses keberatan sebagai hakim doleansi seharusnya dapat menempatkan posisi peran yang berimbang dan setara antara pemeriksa pajak sebagai Fiskus dengan Wajib Pajak dalam beban pembuktian layaknya pengadilan sesungguhnya.

Tags:

Berita Terkait