Pembebasan Ba’asyir Mesti Disikapi Secara Proporsional
Berita

Pembebasan Ba’asyir Mesti Disikapi Secara Proporsional

TPM mengklaim tak pernah disodorkan dokumen ikrar setiap Pancasila dan NKRI untuk ditandatangani kliennya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Mahendradatta (kiri) bersama Yusril Ihza Mahendra saat konferensi pers rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir di Jakarta, Sabtu (19/1). Foto: RES
Mahendradatta (kiri) bersama Yusril Ihza Mahendra saat konferensi pers rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir di Jakarta, Sabtu (19/1). Foto: RES

Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir masih terus dikaji pemerintah. Padahal sebelumnya, Presiden Jokowi melalui kuasanya, Yusril Ihza Mahendra, bakal memberi keringanan pembebasan murni (tanpa syarat) terhadap Abu Bakar Ba’asyir.

 

Alasan ditundanya pembebasan lantaran Ba’asyir disebut-sebut menolak berikrar setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, belakangan muncul informasi bahwa Ba’asyir merasa belum pernah disodorkan surat pernyataan ikrar kesetian terhadap Pancasila dan NKRI tersebut.  

 

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai pembebasan bersyarat Ba’asyir merupakan persoalan hukum yang seharusnya tidak ditarik-tarik ke ranah politik. Menurutnya, kasus Ba’asyir mesti didudukan secara proporsional. “Ini kan persoalan hukum, kalau persoalan hukum, itu ada dua sisi yang sama-sama penting untuk dipertimbangkan,” ujar Arsul Sani di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (24/1/2019).

 

Baginya, aspek kemanusiaan merupakan bagian dari aspek yang lebih tinggi dari aspek keadilan. Dia menilai pemerintah sudah melakukan kebijakan yang benar dengan mempertimbangkan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. “Dari sisi kemanusiaan dan prosedur hukum itu sudah betul dan pas,” ujar Arsul. Baca Juga: Tarik Ulur Pembebasan, Ini Kata Pengacara Abu Bakar Ba’asyir

 

Dia menerangkan dari sisi kepastian prosedur hukum, pembebasan bersyarat mesti dipenuhi syarat-syaratnya oleh pihak terpidana. Pengaturan hak narapidana mendapat pembebasan bersyarat tersebut diatur Pasal 14 ayat (1) huruf k UU No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

 

Kemudian diatur pula syarat mendapatkan pembebasan bersyarat dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

 

“Tidak hanya diperhatikan sisi kemanusiaannya, tetapi juga sisi kepastian hukumnya (ketaatan atau kepatuhan hukumnya itu),” ujarnya.

 

Menurutnya, syarat-syarat agar mendapat pembebasan bersyarat sebenarnya tidak sulit, sehingga hal ini diserahkan kepada Ba’asyir. “Ini syarat yang sepenuhnya kembali kepada ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Kalau syarat-syarat pembebasan bersyarat itu terpenuhi dan sisi kemanusiaannya bisa langsung dilaksanakan, ya pembebasan itu,” kata dia.

 

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menambahkan prinsipnya semua pihak memiliki hak tanggungjawab dan perannya masing-masing. Arsul tetap berharap Ba’asyir dapat segera dibebaskan dengan tanpa menabrak aturan dan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Permenkumham No. 3 Tahun 2018. “Ini harus kita sampaikan kepada masyarakat supaya bisa disikapi secara proporsional,” tegasnya.

 

Membantah

Penasihat hukum Ba’asyir dari Tim Pembela Muslim (TPM), Mahendradata membantah bahwa  kliennya menolak menandatangani surat setia terhadap Pancasila dan NKRI. Hanya saja faktanya, kata Mahendradata, Ba’asyir tak pernah mau menandatangani dokumen apapun. Misalnya, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tak terdapat kata Pancasilanya saja, Ba’asyir enggan untuk tanda tangan.

 

“Itu memang sikap dari Ustadz Ba’asyir,” ujarnya, Rabu (23/1/2019) kemarin.

 

Dia memaklumi pembebasan bersyarat memang mesti dipenuhi syarat-syaratnya. Pihaknya, merasa tak menolak atas syarat-syarat dimaksud. Termasuk juga pembebasan tanpa syarat. Yang pasti, TPM mengikuti kemauan kliennya. “Munculnya isu Ustadz Ba’asyir tidak mau menandatangani ikrar setia terhadap NKRI, kami jadi bingung, ini siapa yang ngomong. Saya tadi konfirmasi ke Ustadz Ba’asyir. Dia bilang, saya disodorkan saja belum pernah,” ungkapnya.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengklarifikasi ucapan sebelumnya terkait pembebasan Abu Bakar Ba’asyir dengan alasan kemanusiaan. Dia menegaskan tak akan bertindak “menabrak” prosedur hukum terhadap proses pembebasan pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo itu.Jokowi memahami usia Ba’asyir yang sudah sepuh dan kesehatannya yang menurun.

 

“Ya bayangkan kalau kita sebagai anak melihat orang tua kita sakit-sakitan seperti itu. Itulah (sebelumnya) yang saya sampaikan secara kemanusiaan,” kata Presiden Jokowi usai bersilaturahmi dengan sekitar 300 nelayan seluruh Indonesia di Istana Negara Jakarta, Selasa (22/1) seperti dikutip dari situs Setkab.

 

Namun begitu, kata Presiden, ada aspek lain yang mesti ditaati Ba’asyir jika ingin mendapat hak pembebasan bersyarat sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, pembebasan bersyarat bukanlah pembebasan murni. “Semua syarat pembebasan bersyarat mesti dipenuhi, contohnya setia pada NKRI, setia pada Pancasila. Itu sangat prinsip sekali,” ujarnya.

 

Dia menerangkan pembebasan bersyarat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir saat ini tengah dikaji oleh Menkopolhukam dan menteri terkait. “Ini ada sistem dan mekanisme hukum yang harus kita tempuh. Saya disuruh menabrak (sistem) kan enggak bisa. Apalagi sekali lagi ini sesuatu (persyaratan) yang basic, setia NKRI, setia Pancasila. Itu basic sekali,” tegasnya.

 

Sebelumnya, Menkopolhukam Wiranto menegaskan, pemerintah masih melakukan kajian mendalam dan komprehensif terkait pembebasan bersyarat Abu Bakar Ba’asyir ini. Dia mengakui keluarga Abu Bakar Ba’asyir sejak 2017 sudah mengajukan permintaan pembebasan karena pertimbangan usia dan kesehatan. Presiden Jokowi pun memahami permintaan keluarga Ba’asyir.

 

“Namun tentunya masih perlu pertimbangan dari aspek-aspek lain, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya,” ujarnya.

 

Untuk diketahui, Abu Bakar Ba’asyir diganjar hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2011 silam. Pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo ini dinilai terbukti bersalah menggerakan orang lain dalam penggunaan dana untuk membiayai tindak pidana terorisme. 

Tags:

Berita Terkait