Pemberhentian Sementara Adil dan Proporsional bagi Pimpinan KPK
Berita

Pemberhentian Sementara Adil dan Proporsional bagi Pimpinan KPK

Pemerintah meminta MK menyatakan pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK ditolak untuk seluruhnya atau tidak dapat diterima.

ASH
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
Wicipto Setiadi di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
        Untuk memperkuat argumentasi, Wicipto merujuk pada putusan MK No. 133/PUU-VII/2009 tanggal 29 Oktober 2009. Dalam salah satu pertimbangannya, disebutkan alasan pembentuk undang-undang, pimpinan KPK dianggap sebagai “manusia sempurna”. Karena itu, perlu diseimbangkan antara dan yang bersifat terhadap perbuatan tercela sekecil apapun pada pimpinan KPK.   “Pertimbangan Putusan MK No. 133/PUU-VII/2009 terkait pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK sudah cukup jelas, sehingga tidak perlu ditafsirkan lain,” kata Wicipto.      Karena itu, pemerintah meminta MK menyatakan pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK ditolak untuk seluruhnya atau setidaknya tidak dapat diterima. “Pasal 32 ayat (2) UU KPK tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”       

Untuk diketahui, melalui tim kuasa hukumnya, BW mempersoalkan Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK 30 Tahun 2002 terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK yang berstatus tersangka seperti yang dialami BW.

Dia meminta tafsir konstitusional agar frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dimaknai dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK khusus terhadap jenis tindak pidana berat, seperti korupsi, terorisme, makar atau yang mengancam keamanan negara. Lalu, penetapan tersangkanya setelah mendapatkan persetujuan dari presiden.
Pemerintah menilai aturan pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ditetapkan sebagai tersangka bukan tindakan diskriminatif. Sebab KPK sebagai lembaga superbody dengan kewenangan besar dituntut model punishment yang luar biasa pula.

“Pemberhentian sementara merupakan tindakan adil dan proporsional bagi pimpinan KPK yang ditetapkan sebagai tersangka demi menjaga keseimbangan pelaksanaan tugas KPK dan perlindungan HAM pimpinan KPK,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi dalam sidang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW) di Gedung MK, Kamis (7/5).    

Wicipto melanjutkan pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK yang terlibat kejahatan demi untuk menjaga citra dan wibawa lembaga anti rasuah tersebut agar tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Sebab, KPK merupakan lembaga yang menangani kejahatan bersifat extra ordinary crimes terkait korupsi dengan kewenangan luar biasa.

“Pemberhentian sementara pimpinan KPK ini untuk memudahkan proses penanganan perkaranya agar ada kepastian hukum dan perlindungan bagi bersangkutan,” katanya.

punishmentrewardzero tolerance





Atas keterangan itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan ada yang belum terjawab dari permohonan pemohon. Salah satunya, pemerintah belum menjawab soal  kualifikasi tindak pidana dan waktu kapan tindak pidana dilakukan. Artinya, apakah pemberhentian sementara pimpinan KPK diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu dan bisa dilakukan pada saat sebelum, saat, atau sesudah menjabat.

Menjawab pertanyaan hakim, Wicipto menegaskan KPK diberi kewenangan khusus memberantas korupsi dan menjadi lembaga yang dihormati masyarakat. Sehingga saat membentuk UU KPK, para pembentuk UU sepakat membedakan perlakuan pimpinan KPK dengan pejabat negara lain. Sebab, kewenangan yang diberikan pada KPK bisa dikatakan sebagai kewenangan yang luar biasa.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait