Pemerintah: Aturan Pengunduran Diri PNS Konstitusional
Berita

Pemerintah: Aturan Pengunduran Diri PNS Konstitusional

Pasal yang sama pernah diputus MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
Wicipto Setiadi di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
Seorang PNS yang menjabat sebagai Asisten Sekda (eselon IIb), Eduard Nunaki mempersoalkan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal itu dinilai diskriminatif dan membatasi hak politik pemohon untuk turut serta dalam pemerintahan.

Pasal 119 menyebutkan “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Pasal 123 ayat (3) menyebutkan “Pegawai ASN dan PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua, dan anggota DPR, ketua, wakil ketua, dan anggota DPD, gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”
Menanggapi permohonan itu, pemerintah mengganggap ketentuan itu tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sebab, upaya untuk menjaga netralitas ASN dari pengaruh politik dan memusatkan perhatiannya pada tugas yang dibebankan ASN harus dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik,

“Ini juga selaras dengan Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang mewajibkan PNS, TNI/Polri mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Wicipto Setiadi dalam sidang pengujian UU ASN di ruang MK, Kamis (27/11).

Menurutnya, ketentuan yang serupa pernah ditolak MK melalui putusan MK bernomor 12/PUU-XI/2013 jo nomor 45/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu, MK berpendapat kewajiban mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan konsekwensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik.

“Menurut Mahkamah, dari perspektif kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional,” ujar Wicipto mengutip putusan MK itu.

“Jadi, dalil pemohon yang menganggap aturan pengunduran diri bagi PNS melanggar kontitusi tidak tepat. Justru ketentuan serupa pernah dimohonkan pengujian dengan alasanya yang sama, sehingga seharusnya putusan pertimbangan itu otomatis berlaku terhadap permohonan ini.”

Untuk dilketahui, pemohon yang menjabat Asisten Sekda (eselon IIb atau setara pimpinan tinggi pratama) di wilayah Papua memang berniat untuk menjadi kepala daerah. Namun, dia tak “rela” melepaskan status PNS-nya, akhirnya mempersoalkan aturan kewajiban pengunduran diri sebagai PNS itu ke MK.  

Karenanya, dia meminta MK memberi tafsir atas kedua pasal agar jabatan pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan itu sejak mendaftar. Bagi Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden dan kepala daerah wajib mengundurkan diri dari jabatan struktural atau fungsional secara sejak mendaftar.
Tags:

Berita Terkait