Pemerintah: Sertifikasi Badan Usaha Konstruksi Bukan Kewenangan Pemda
Berita

Pemerintah: Sertifikasi Badan Usaha Konstruksi Bukan Kewenangan Pemda

Pemerintah menilai UU Jasa Konstruksi memberi kepastian hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan mendengar keterangan pemerintah terkait uji materi beberapa pasal UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi terkait aturan sertifikasi badan usaha dan profesi jasa konstruksi. Permohonan ini diajukan pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Aceh, Azhari A Gani.

 

Pasal-pasal yang diuji yaitu Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 68 ayat (4); Pasal 70 ayat (4); Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 77; Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya, ayat (5) UU Jasa Konstruksi. Pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya pasal-pasal yang mengatur sertifikasi badan usaha dan profesi jasa konstruksi.

 

Sebab, bagi pemohon, berlakunya UU Jasa Konstruksi itu seolah mengancam keberadaan LPJK Aceh, yang merupakan salah satu anggota yang tergabung dalam Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Pusat (LPJKP) yang sudah eksis puluhan tahun mengembangkan jasa kontruksi yang ditunjang infrastruktur dan sumber daya yang lengkap.

 

Misalnya, Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017, ada kewajiban proses registrasi dan sertifikasi setiap badan usaha jasa kontruksi melalui menteri (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/PUPR). Menteri PUPR telah mengambil hak konstitusional para Pemohon yang selama ini telah menyelenggarakan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi secara profesional, transparan, dan akuntabel. UU Jasa Kontruksi itu terjadi sentralisasi dan birokratisasi penyelenggaraan registrasi dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi. (Baca juga: Konstitusionalitas Aturan Sertifikasi Jasa Konstruksi Dipersoalkan)

 

Menanggapi permohonan ini, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Syarif Burhanudin menilai permohonan LPJK Aceh telah mencampuadukkan kewenangan antara pemerintah provinsi dengan LPJK provinsi mengenai mengenai urusan jasa konstruksi. Padahal, keduanya memiliki kewenangan dan fungsi berbeda. Pembagian urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya menyangkut penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi dan penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi cakupan daerah provinsi.

 

“Untuk sertifikasi dan registrasi badan usaha serta tenaga kerja konstruksi bukanlah urusan yang bisa diotonomikan kepada daerah (konkuren),” kata Syarif di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/10/2018).

 

Syarif menilai pemohon seolah-olah mencampuradukkan kewenangan pemerintah provinsi berdasarkan pembagian urusan dalam UU No. 24 Tahun 2014, dengan tugas fungsi LPJK provinsi yang notabene ialah lembaga independen dan mandiri. “LPJK ini tidak menjadi bagian dari pemerintah daerah dalam pelaksanaan kegiatannya, tidak terkait dengan penyelenggaran pemerintah daerah itu sendiri.”

 

Menurut Syarif, registrasi dan sertifikasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi dilakukan Menteri PUPR sebagai bagian dari proses pencatatan dalam rangka pembentukan database nasional Badan Usaha Jasa Konstruksi untuk keperluan pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

 

Ia menerangkan kewenangan sertifikasi (klasifikasi dan kualifikasi) tenaga kerja konstruksi dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi sesuai Pasal 70 dan Pasal 71 UU Jasa Konstruksi. Dalam pasal-pasal yang diuji, lembaga sertifikasi profesi dibentuk oleh asosiasi profesi terakreditasi serta lembaga pendidikan dan pelatihan yang teregistrasi.

 

Untuk itu, sebelum terbentuknya lembaga sertifikasi profesi, LPJK Provinsi bersama-sama unit sertifikasi tenaga kerja tetap menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi tenaga kerja konstruksi. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum bagi tenaga kerja konstruksi dan masyarakat jasa konstruksi yang memanfaatkan tenaga kerja konstruksi.

 

Pasal 68 ayat (4) UU Jasa Konstruksi mengatur ketentuan mengenai klasifikasi dan kualifikasi tenaga kerja konstruksi diatur lebih lanjut oleh menteri sebagai pembina jasa konstruksi. “Dengan demikian, pasal-pasal yang diuji dalam UU Jasa Konstruksi memberi kepastian hukum terkait sertifikasi tenaga kerja konstruksi, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” katanya.

 

Untuk diketahui, LPJKP ada di 34 provinsi yang dibentuk pada 2001 atas dasar Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2000 tentang Peran Masyarakat Jasa Konstruksi yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tujuan LPJKP dibentuk untuk menyalurkan peran serta masyarakat jasa konstruksi di tingkat provinsi.

 

Pengurus LPJKP dikukuhkan oleh Gubernur melalui Surat Keputusan Gubernur sebagai pelaksanaan PP No. 28 Tahun 2000 jo PP No. 30 Tahun 2000. Penetapan nama-nama pengurus LPJKP berasal dari usulan Menteri PUPR atas dasar hasil fit and proper test yang dilaksanakan Panitia Seleksi Kementerian PUPR. Dengan demikian, LPJKP merupakan suatu badan hukum publik.

Tags:

Berita Terkait