Pemerintah Anggap Pengujian Sumpah Advokat Kehilangan Objek
Utama

Pemerintah Anggap Pengujian Sumpah Advokat Kehilangan Objek

Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memutuskan konstutisionalitas pengujian Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Sidang Pleno mendengarkan keterangan pemerintah yang diwakili Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi, Rabu (6/5). Foto: Humas MK
Sidang Pleno mendengarkan keterangan pemerintah yang diwakili Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi, Rabu (6/5). Foto: Humas MK
Pemerintah menganggap ketentuan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah lepas dari isu konstitusionalitas. Sebab, persoalan itu sudah pernah diputus MK melalui putusan No. 101/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009, sehingga pengujian Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat kehilangan objek.

“Permohonan ini kehilangan objectum litis karena sudah pernah diputus. Jika kenyataannya putusan MK itu tidak dilaksanakan, hal ini bukan isu konstitusionalitas,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi saat memberi keterangan dalam uji materi UU Advokat di ruang sidang MK, Rabu (06/5).

Dalam persidangan ini, Wicipto mengutip kembali pertimbangan putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 yang menyebut hambatan para pemohon bekerja dalam profesi advokat pada dasarnya bukan adanya norma Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Penyebabnya adalah surat MA yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon advokat sebelum organisasi advokat bersatu.

Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dinyatakan konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai kewajiban yang diperintahkan undang-undang tanpa mengaitkan adanya dua organisasi advokat yang mengklaim sebagai organisasi advokat yang sah. Karena itu, untuk mendorong terbentuknya satu-satunya wadah profesi advokat, kewajiban Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon advokat tanpa mengkaitkan organisasi advokat yang ada saat ini.

“Apabila jangka waktu dua tahun organisasi advokat seperti dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan umum,” tutur Wicipto mengutip putusan.

Menurutnya, permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat ini lebih tepat diajukan peradilan umum karena menyangkut penerapan norma yang bukan merupakan kewenangan MK. “Menolak permohonan para pemohon atau setidaknya tidak dapat diterima karena Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945,” harapnya.

Meski putusan MK itu dinilai belum terlaksana, Wicipto juga mengingatkan setiap orang/lembaga negara tetap wajib melaksanakan putusan MK tersebut. Khusus, bagi pembentuk undang-undang segera memikirkan untuk merevisi UU Advokat sesuai dengan beberapa amar dan pertimbangan putusan MK terkait pengujian UU Advokat ini.

“Saat Proglenas 2014 lalu, sebenarnya RUU Advokat sudah dibahas, tetapi perseteruan dua kubu organisasi advokat ini jadi hambatan kami mana yang bisa dijadikan patokan,” ungkapnya.

Sikap MA
Selaku pihak terkait dalam perkara ini, Mahkamah Agung menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memutuskan konstutisionalitas pengujian Pasal 4 ayat (1), (3) UU Advokat.

Meski begitu, MA menyatakan tidak dalam posisi hendak mencabut SK Ketua MA No. 089 Tahun 2010 dan SK KMA No.052/KMA/HK.01/III/2011 terkait pengambilan sumpah advokat hanya dari advokat PERADI dan kewajiban advokat yang beracara di pengadilan menunjukkan berita acara sumpah. Sebab, SK KMA ini belum pernah dicabut melalui putusan lembaga peradilan.

“Sebenarnya MA tidak ingin lagi terseret/terlibat lagi dengan konflik organisasi profesi advokat yang pernah terjadi di masa lalu. MA merasa tidak masalah kalau nantinya sumpah advokat tidak harus di Pengadilan Tinggi, tetapi diserahkan ke organisasi advokat yang sah. Kita ingin bersikap imparsial atau netral, makanya kita serahkan ke MK,” kata Ketua Kamar Pembinaan Prof Takdir Rahmadi dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Sebelumnya, advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ismet mempersoalkan Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait kewajiban bersumpah advokat di Pengadilan Tinggi. Dalam permohonannya, Ismet menganggap MK dan MA beda tafsir terkait pelaksanaan pasal itu. Dalam putusan  No. 101/PUU-VII/2009, MK menafsirkan Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat tanpa mengkaitkan keanggotaan organisasi advokat yang ada saat ini.

Dalam praktiknya MA tetap menolak sumpah advokat yang bukan berasal dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Artinya, pasal itu mengandung tafsir kewenangan Pengadilan Tinggi melakukan sumpah advokat baik kewenangan kehendak (bersedia/tidak bersedia) maupun kewenangan administratif (salinan berita acara sumpah advokat dikirim ke MA). Hal ini bertentangan dengan asas kemandirian advokat dalam UU Advokat.

Pasal tersebut pernah dipersoalkan sejumlah advokat yakni Abraham Amos, Johni Bakar, Rahmat Artha Wicaksana, Andreas Wibisono, Mohamad John Mirza, Mintarno dan Ricardo Putra. Sebab, putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 dalam praktiknya secara de facto belum dilaksanakan. Hingga kini, permohonan sumpah advokat KAI di Pengadilan Tinggi acapkali ditolak sehingga ada perlakuan yang berbeda oleh MA terhadap organisasi advokat.

Atas dasar itu, kedua permohonan ini meminta MK menghapus Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “pengadilan tinggi” dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi. Sehingga, sumpah advokat bukan hak mutlak Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan kewajiban dari organisasi advokat masing-masing dengan segala akibat hukumnya.
Tags:

Berita Terkait