Pemerintah-DPR Anggap Kewenangan Kurator Konstitusional
Berita

Pemerintah-DPR Anggap Kewenangan Kurator Konstitusional

Dalil pemohon yang mempertentangkan Pasal 69 ayat (2) huruf a UU KPKPU dengan Pasal 28F UUD 1945 tidak tepat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Sidang Pleno dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah dalam uji materi UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Selasa (9/6). Foto: Humas MK
Sidang Pleno dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah dalam uji materi UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Selasa (9/6). Foto: Humas MK
Kewenangan yang tidak mewajibkan kurator memberi persetujuan kepada debitor pailit dalam pemberesan harta pailit dipersoalkan lewat uji materi Pasal 69 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).  Ketentuan itu dinilai tidak memberi batasan yang tegas terhadap tugas dan kewenangan kurator.

Soalnya, pemohon eks Dirut PT Batamas Jala Nusantara Tato Suwarto pernah dinyatakan pailit, tetapi kurator seenaknya melelang barang-barang bergerak/tidak bergerak termasuk lelang saham pesero tanpa persetujuannya. Seolah, debitor pailit sebagai pihak luar dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit, sehingga pemohon kehilangan hak mengurus harta pailit yang diurus secara penuh oleh kurator di bawah hakim pengawas.

Menanggapi pengujian UU ini, pemerintah memandang persoalan yang dialami pemohon bukanlah menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan kasus konkrit yang sepatutnya diajukan ke pengadilan negeri untuk mengadili unsur tindak pidana. “Permasalahan pemohon bukanlah isu konstitusionalitas berlakunya norma,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi dalam sidang pengujian UU Kepailitan di gedung MK Jakarta, Selasa (09/6).

Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: (a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan.

Wicipto mengingatkan ketentuan itu sangat terkait dengan pengujian Pasal 16 UU Kepailitan yang pernah ditolak MK dalam perkara No. 144/PUU-VII/2009, sehingga sesuai Pasal 60 UU MK harus dinyatakan nebis in idem, atau perkara objek yang sama tidak dapat diajukan kembali. “Ketentuan yang diuji seolah berbeda, tetapi sebenarnya sama, seharusnya permohonan ini nebis in idem,” kata Wicipto.

Dijelaskan Wicipto, sesuai UU Kepailitan, kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Dengan begitu, akibat putusan pailit, debitor demi hukum kehilangan haknya menguasai dan mengurus kekayaannya termasuk harta pailit.

“Jadi, wajar apabila kewenangan kurator, tidak diharuskan memperoleh persetujuan atau menyampaikan pemberitahuan terlebuh dahulu kepada debitor,” kata dia.

Menurutnya, permasalahan yang dialami pemohon, hanya dengan menempuh upaya hukum yang diamanatkan UU Kepailitan dan diajurkan dalam putusan MK itu. Dalam pertimbangannya disebutkan dalam rangka mencegah penyalahgunaan wewenang harta pailit oleh kurator telah tersedia upaya hukum dalam UU Kepailitan yakni pemohon dapat mengajukan keberatan melalui penggantian kurator atau pertanggungjawaban secara perdata ke pengadilan.

“Dalam kepailitan baik pihak debitor, kreditor, maupun kurator potensial melakukan penyalahgunaan kewenangannya atau bertindak dengan etikat buruk….,” ujar Wicipto mengutip putusan MK.

Dengan begitu, kewenangan yang melekat dalam UU Kepailitan, kurator tidak begitu saja terbebas dari pertanggungjawaban hukum perdata jika menimbulkan kerugian pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit. “Permohonan ini tidak terbukti bahwa kerugian pemohon disebabkan berlakunya pasal a quo, melainkan permasalahan implementasi norma dalam penegakan hukum. Karenanya, permohonan pemohon seharusnya ditolak atau tidak dapat diterima,” harapnya.

DPR memandang hak untuk mengetahui (right to know) dan hak memperoleh informasi (right to informed) bukanlah hak mutlak (nonderogable rights), melainkan hak yang dapat dikesampingkan (derogable rights). Karena itu, Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 karena hak asasi dapat dibatasi sepanjang diatur dalam undang-undang sesuai bunyi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

“Pasal 69 ayat (2) huruf a untuk melindungi hak dan kepentingan kreditor preferen dan konkuren dari penyalahgunaan wewenang harta pailit, prinsip keadilan dan kepastian hukum,” ujar Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan.

Atas dasar itu, menurut DPR dalil pemohon yang menganggap Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan merugikan hak konstitusionalnya dan diskriminatif tidak benar. “Jadi, dalil pemohon yang mempertentangkan Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan dengan Pasal 28F UUD 1945 tidak tepat,” katanya.

Untuk diketahui, saat dinyatakan pailit, Pemohon merasa dicurangi oleh partner asing OTTO Industrial Co Pte Ltd Dkk dengan cara menguasai aset PT Batamas Jala Nusantara dengan cara memasukkan keterangan alamat yang tidak sebenarnya ke dalam permohonan pernyataan pailit. Padahal mereka mengetahui tempat kedudukan PT Batamas Jala Nusantara yang sebenarnya.

Sesuai Pasal 93 ayat (1) UU KPKPU ini, Pemohon telah dipidana penjara selama 10 bulan. Dengan dipenjaranya Pemohon ini mengakibatkan Kurator dapat dengan leluasa secara melawan hukum dan melawan hak, telah melakukan lelang terhadap barang-barang bergerak termasuk lelang saham pesero dan lelang barang-barang tidak bergerak dengan pembelinya dari lingkungan sendiri. Menurutnya, Kurator beritikad buruk dengan menyerahkan aset dan operasionalnya kepada partner asing OTTO Industrial Co Pte Ltd dkk sebagai Kreditor Pemohon Pailit yang dimungkinkan dengan berlakunya pasal itu.
Tags:

Berita Terkait