Pemerintah Siapkan Aturan Lengkap Pajak Karbon
Terbaru

Pemerintah Siapkan Aturan Lengkap Pajak Karbon

Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

Febrio menambahkan bahwa proses penyusunan peta jalan (roadmap) pajak karbon perlu memperhatikan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon diantaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.

Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi.

Pengenaan pajak karbon akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan (just) dan terjangkau (affordable) serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.

Proses penyempurnaan skema pasar karbon termasuk peraturan perundang-undangan terkait, yang akan menjadi pelengkap penerapan pajak karbon, juga membutuhkan penyempurnaan. Oleh sebab itu, pemerintah akan menerapkan pajak karbon saat regulasi dan kesiapan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon lebih siap.

“Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal”, tutup Febrio.

Sehingga, Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini.

Sebelumnya, di samping mengusung semangat melindungi lingkungan, pengenaan pajak karbon disebut memberikan dampak domino. Managing Partner MDR Law, Wibowo Mukti, menyampaikan bahwa pada dasarnya kandungan UU HPP cukup baik, namun pemerintah harus memikirkan persoalan pajak karbon karena akan mempengaruhi harga listrik yang akan diterima oleh masyarakat.

Gambarannya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara sebagai entitas akan dikenakan tarif pajak karbon Rp30,00 per ketentuan. Kenaikan biaya ini akan ditambahkan oleh PLTU ke dalam biaya produksi yang kemudian akan dibeli oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan harga yang telah disesuaikan.

PLN sebagai entitas milik negara, akan menyalurkan listrik kepada masyarakat selaku pengguna akhir. Rentetan kenaikan biaya produksi listrik ini, menurut Wibowo, harus bisa diatasi oleh pemerintah. Salah satu hal kebijakan yang paling masuk akal adalah lewat pemberian subsidi.

“Banyak hal yang menurut saya baik di UU HPP, tapi untuk pajak karbon PLN harus coba mengatasi penetapan tarif listrik kepada masyarakat. Kalau rentetan itu tidak dijamin pemerintah lewat pemberian subsidi, efeknya akan menaikkan tarif listrik dan bayar listrik lebih mahal. Efek bagusnya, kalau memang perusahaan-perusahaan nantinya diatur, sekarang belum diatur, mereka juga berupaya melakukan hal baik dalam lingkungan, dan kalau mereka dapat insentif itu bagus juga. Itu yang bisa dipahami dari ketentuan ini,” kata Wibowo dalam Webinar Hukumonline 2021: “Pemahaman Poin-Poin Penting Perubahan Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan”, Kamis (9/12).

Tags:

Berita Terkait