Pemerintah Tak Bisa Paksakan Taksi Pakai BBG
Berita

Pemerintah Tak Bisa Paksakan Taksi Pakai BBG

Harga konverter kit yang mahal dan sulitnya SPBG menjadi ganjalan.

Oleh:
CR15
Bacaan 2 Menit

Selain masalah konverter yang mahal, pengusaha juga terkendala dengan ketersediaan SPBG yang masih sangat terbatas. Taksi Tiara Express yang sudah menggunakan konverter untuk mengisi BBG, misalnya, kadang terpaksa tetap harus menggunakan BBM.

“Saat tidak menemukan SPBG karena jarang di Jakarta, terpaksa pakai pertamax,” kata Corporate Secretary PT Express Transindo Utama Tbk, Merry Anggraini singkat.

Sebenarnya, kebijakan penggunaan gas untuk transportasi bukan hal baru dalam wacana transportasi di Indonesia. Sejak Juli 1986, gagasan itu sudah muncul dalam sebuah lokakarya World Energy Conference di Jakarta. Pemerintah saat itu juga telah menetapkan kebijakan konservasi dan diversifikasi energi pada PELITA IV untuk menurunkan konsumsi BBM sebesar 59.5 % dari sebelumnya 63.3%.

Selain itu, pemerintah juga telah memberikan payung hukum lewat Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk BBG yang Digunakan Untuk Transportasi.

Kebijakan penggunaan BBG sudah diimplementasikan dalam kurun lebih dari 25 tahun, namun penggunaannya masih sangat kecil. Menurut Pengamat Migas Pri Agung Rakhmanto, memang program konversi BBM untuk transportasi ke gas tidak bisa dilakukan sampai 100 persen.

"Program BBG ini hanya akan jadi pelengkap kebijakan lain, seperti pembatasan ataupun kenaikan harga BBM," katanya.

Ia mengingatkan, pemakaian BBG hanyalah sebuah alternatif. Menurutnya, program konversi BBM ke BBG transportasi tidaklah sama dengan minyak tanah ke elpiji yang bisa menggantikan hampir 100 persen. Di negara manapun, tidak ada paksaan memakai BBG.

“Pemerintah tidak bisa memaksakan pelaksanaan program konversi BBM ke BBG ke semua kendaraan,” tandasnya.

Selama ini, pemerintah melaksanakan program konversi BBM ke BBG tersebut masih parsial dan belum berskala nasional. Sasarannya hanya 200-300 kendaraan per kota. Artinya, volume BBM yang akan terkonversi ke BBG jika proyek berhasil dan berkelanjutan pun tidak akan lebih dari 0,01 juta kiloliter per tahun atau kurang dari 0,03 persen volume BBM subsidi nasional.

“Jika mencakup 100 ribu kendaraan terkonversi ke BBG baru akan memberikan dampak pengurangan subsidi yang cukup signifikan yakni 8,7 juta kiloliter per tahun atau 21 persen volume BBM subsidi nasional,” pungkas Pri Agung.

Tags:

Berita Terkait