Pemilu 2014, Caleg Butuh 1,18 Miliar Rupiah
Berita

Pemilu 2014, Caleg Butuh 1,18 Miliar Rupiah

Biaya pemenangan itu meningkat empat kali lipat dari Pemilu 2009.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Spanduk sosialisasi Pemilu 2014. Foto: RES
Spanduk sosialisasi Pemilu 2014. Foto: RES
Ongkos politik yang dibutuhkan calon legislatif (caleg) untuk duduk di parlemen tidak murah. Biaya yang dibutuhkan caleg semakin besar. Ini sejalan dengan riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI).

Peneliti LPEM FEUI, Teguh Dartanto, menghitung seorang caleg DPR harus mengantongi dana Rp787 juta sampai Rp1,1 miliar jika ingin optimal untuk berlaga dalam Pemilu 2014. Jumlah itu naik empat kali lipat ketimbang anggaran optimal caleg untuk maju pada Pemilu 2009 yaitu Rp250 juta. Jika caleg DPR punya anggaran 1,1-4,6 miliar rupiah menilai jumlah itu masih dalam taraf wajar untuk meraih peluang memenangkan Pemilu 2014. Jika caleg mengucurkan dana lebih dari Rp4,6 miliar, Dartanto menilainya sebagai tindakan yang tidak wajar.

"Investasi politik sebesar angka tersebut tidak menjamin caleg akan terpilih, tapi kurang dari angka tersebut peluang terpilih sangat kecil sekali," kata Dartanto dalam diskusi yang digelar Policy Research Network (PRN) di Jakarta, Rabu (19/3).

Untuk caleg DPRD tingkat Provinsi, Dartanto menghitung anggaran optimal yang dibutuhkan untuk bertarung dalam Pemilu 2014 yaitu Rp320-481 juta. Sedangkan biaya yang wajar untuk membuka peluang menang berkisar Rp481-Rp1,5 miliar. Di atas besaran anggaran tersebut Dartanto menilai biaya yang dikeluarkan caleg untuk merebut kursi DPRD tergolong tidak wajar. Pasalnya, gaji anggota DPRD untuk satu periode totalnya hanya Rp1,8 miliar.

Jika anggaran pemenangan Pemilu yang digunakan sangat besar Dartanto berpendapat caleg yang bersangkutan berpotensi melakukan tindakan korupsi ketika terpilih. Dari anggaran yang dibutuhkan para caleg itu biaya paling besar digunakan untuk kampanye. Seperti membuat kaos, poster, transportasi, komunikasi dan pengerahan massa serta kampanye di media.

Walau begitu Dartanto menilai peluang para caleg untuk terpilih menjadi anggota dewan sangat besar ketimbang Pemilu sebelumnya. Sebab, saat ini ada 563 kursi yang tersedia di DPR dan jumlah caleg yang maju pada Pemilu 2014 ada 6.608 orang. Dari angka tersebut peluang caleg untuk terpilih menjadi anggota DPR rata-rata 8,9 persen.

Dari besaran biaya tersebut Dartanto memprediksi total dana yang bergulir pada Pemilu 2014 mencapai Rp115 triliun. Perputaran uang itu bakal berdampak pada perekonomian Indonesia terutama di tiga sektor yaitu industri kertas dan karton sebesar 18 persen, transportasi dan komunikasi 17 persen dan tekstil, pakaian dan kulit 12 persen. Pesta demokrasi yang berlangsung setiap lima tahun sekali itu bagi Dartanto mampu memberikan stimulus perekonomian nasional.

Selain itu, dana yang digunakan para caleg tersebut juga berkontribusi membuka lapangan pekerjaan. Baik untuk pekerjaan berjenis tetap dan musiman. Dartanto mencatat ada 2,4 juta orang tenaga kerja yang terserap. "Rata-rata kontribusi dana tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 0,5-0,7 persen," ucapnya.

Dari hasil risetnya itu Dartanto menyarankan ke depan harus dilakukan pengkajian lebih dalam apakah benar terpilihnya seorang caleg menjadi anggota dewan melulu karena besaran dana yang digelontorkan. Atau ada hal lain seperti konsep yang dimiliki caleg sehingga dipilih rakyat menjadi anggota dewan. Kemudian perlu juga didalami apakah dana kampanye berkaitan dengan perilaku korupsi.

Pada kesempatan yang sama peneliti dari Institute for Research and Empowerment (IRE), Abdur Rozaki, berpendapat mahalnya biaya politik diakibatkan oleh pola relasi yang dijalin antara caleg dan konstituen itu cenderung transaksional. Untuk menekan biaya tersebut para caleg harus membangun komunikasi yang baik dengan konstituennya. Hal itu terus dijaga sekalipun caleg yang bersangkutan terpilih menjadi anggota dewan.

Jika relasi yang dijalin itu sifatnya transaksional, Abdur mengatakan konstituen tidak akan memilih caleg berdasarkan program dan ideologinya. Untuk itu yang harus ditekankan ke depan adalah perspektif representasi substantif yaitu caleg dipilih karena kesamaan program dan ideologi. "Itu yang mampu mengurangi biaya politik yang mahal," urainya.

Sementara peneliti CSIS, Philips J Vermonte, berpendapat kondisi demokrasi yang ada di Indonesia saat ini dialami oleh negara lainnya yang sistem demokrasinya tergolong masih muda. Akibatnya, dalam Pemilu kerap ditemui transaksi atau pertukaran langsung antara suara pemilih dengan komoditas seperti uang dan barang. Padahal yang terpenting bagaimana si caleg ketika terpilih mampu menghasilkan kebijakan publik yang mengakomodir kepentingan konstituen.

Proses transaksional dalam Pemilu itu menurut Philips diakibatkan juga oleh minimnya informasi yang diterima masyarakat atas caleg atau parpol yang maju dalam Pemilu 2014. Sehingga masyarakat tidak dapat objektif melihat caleg dan partai politik mana yang harus diberikan reward atau punishment terhadap kinerja mereka selama ini.

Saat ini sebagian masyarakat belum mampu memberikan penilaian objektif terhadap caleg dan partai politik karena antara lain tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi itu mengakibatkan terjadinya anomali dimana caleg dan partai politik yang selama ini kinerjanya buruk masih berpeluang untuk terpilih kembali.

Philip menyarankan untuk menekan biaya politik yang mahal, para caleg harus tekun merawat konstituennya. Serta serius menjalankan tugasnya ketika terpilih. Untuk membangun hal itu caleg yang bersangkutan tidak perlu langsung menargetkan untuk duduk sebagai anggota dewan di DPRD, DPD atau DPR.

Namun, Philips menandaskan, bisa diawali lewat pemilihan kepala desa. Dengan begitu tingkat kepercayaan konstituen terhadap caleg tersebut dapat terjalin erat. "Untuk mendapatkan biaya politik yang tergolong murah maka caleg atau politisi harus membangun konstituen mulai dari bawah," usulnnya.
Tags:

Berita Terkait