Penanganan Obligor BLBI Masih Setengah Hati
Utama

Penanganan Obligor BLBI Masih Setengah Hati

Progres penanganan delapan obligor BLBI dengan pola penyelesaian Akta Pengakuan Utang yang ditangani Depkeu belum memuaskan. Pemerintah dinilai tidak tegas dan setengah hati dalam menindak para pengemplang dana BLBI.

CR-2
Bacaan 2 Menit
Penanganan Obligor BLBI Masih Setengah Hati
Hukumonline

Wajar bila Drajad Wibowo kesal. Anggota Tim Pengawas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu tidak habis pikir dengan kinerja Departemen Keuangan (Depkeu) yang berlarut-larut terkait penyelesaian kewajiban delapan obligor BLBI. Dia menilai progres penanganan delapan obligor penyelesaian kewajiban pemegang saham dengan pola Akta Pengakuan Utang (APU) belum memuaskan. Semua berawal dari ketidaktegasan pemerintah untuk menindak para obligor yang sebagian diduga 'kabur' ke luar negeri.

 

Para obligor itu adalah Adisaputra dan James S. Januardy pemilik PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban sebesar Rp303 miliar. Lalu Atang Latief pemilik PT Bank Bira (Rp155,72 miliar), Ulung Bursa pemilik PT Bank Lautan Berlian  (Rp424,65 miliar), Marimutu Sinivasan pemilik PT Bank Putera Multi Karsa (Rp790,557 miliar). Kemudian Omar Putihrai pemilik PT Bank Tamara (Rp159,1 miliar), Agus Anwar pemilik PT Pelita Istimarat (Rp577,812 miliar) dan Lidya Mochtar pemilik PT Bank Tamara (Rp189,039 miliar).

 

Sejauh ini baru Adisaputra dan James Januardy yang melunasi seluruh utang. Mereka telah  melunasi utang pada bulan Januari 2009 sebesar Rp303 juta ditambah biaya administrasi sebesar 10 persen atau setara Rp303 miliar, kata Drajad. Namun, keduanya belum bisa mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) lantaran masih melakukan verifikasi terhadap asset settlement—penyelesaian kewajiban dengan penyerahan harta.

 

Sementara dalam waktu dekat Agus Anwar akan membayar utang sebesar Rp5 miliar selambatnya pada 31 Maret mendatang. Sisanya akan dicicil selama 84 bulan. Untuk Omar Putihrai, Depkeu sudah mempersiapkan pelaksanaan pelelangan agunan berupa saham pada Februari ini. Sedangkan, untuk empat obligor lainnya, Depkeu tengah mempersiapkan penyelesaian asset settlement dimana akan dilakukan lelang mulai Februari ini. Harusnya tahun ini total utang BLBI Rp2 triliun yang ditangani Depkeu dapat linas 100 persen, kata Anggota Komisi XI DPR itu.

 

Bukan itu saja yang membuat Drajad geram. Selain di Depkeu, ada 16 obligor lain yang belum tertangani. Delapan obligor ditangani Kepolisian dan sisanya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun menurut Drajad, sejumlah dokumen kasus BLBI yang telah disidik Kejagung hilang. Pemerintah pun berkelit tengah mengalami kesulitan untuk menemukan dokumen lengkap sebagian besar obligor. Saya belum tahu berapa besar aset yang tertahan akibat data-data yang hilang itu. Bila data-data itu tak bisa ditemukan, pemerintah tak bisa menarik aset para obligor, ujarnya.

 

Pernyataan Drajad tadi berdasarkan ekspos yang dilakukan Kejagung pada 17 September 2008. Tercatat tujuh kasus yang telah disidik. Kasus itu adalah Bank Deka, Bank Aken, Bank Centris, Bank Central Dagang, Bank Dewa Rutji, Bank Arya Panduarta, dan Bank Pelita. Hasilnya antara lain ditemukan kesulitan untuk memperoleh dokumen atau data yang mendukung dan sebagian besar orang-orang yang terkait sulit ditemukan alamatnya.

 

Dari hasil itu Kejagung menyarankan agar penyelesaian kewajiban pemegang saham  delapan obligor—pemegang saham Bank Deka, Bank Centris, Bank Pelita, Bank Central Dagang, Bank Dewa Rutji, Bank Arya Panduartha, Bank Aken, dan Bank Orient—dilaksanakan oleh Menteri Keuangan melalui gugatan perdata. Namun sesuai Keputusan Menteri Keuangan No.184/KMK.06/2008 tanggal 8 Juli 2008 tentang Prosedur Operasi Standar Tim Bersama Penanganan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, penyelesaian lebih lanjut dilakukan melalui penyerahan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

 

Sementara aktivis LSM Masyarakat Anti Korupsi (MaKI) Boyamin Saiman yang dihubungi hukumonline mengatakan, pemerintah tidak tegas dari awal untuk menindak para penerima BLBI yang menyimpang. Sejauh ini, kata Boyamin, sikap yang dilakukan pemerintah terhadap para obligor terlihat seperti 'pengemis'. Semakin lama masalah ini diselesaikan, semakin jauh dia (para obligor) lari ke luar negeri, terangnya.

 

Boyamin menyayangkan langkah pemerintah yang akan melakukan gugatan perdata kepada para obligor BLBI. Hal ini menunjukan sikap pemerintah yang menganggap kasus BLBI adalah kasus sepele, yakni hanya soal pinjam meminjam. Oleh sebab itu, ia yakin para obligor telah menyembunyikan hartanya masing-masing. Meskipun pada akhirnya pemerintah menang, kemenangan itu hanya di atas kertas. Dan itu sama saja artinya dengan kalah, tukasnya.

 

Menurutnya, hampir semua bank penerima BLBI, dananya disalahgunakan. Kalau ada satu atau dua yang dikorupsi, mestinya semua kasus BLBI menjadi kasus korupsi, bukan perdata. Sehingga uang yang telah keluar melalui BLBI tersebut bisa kembali semuanya ke kas negara, cetusnya. Malah yang dulunya menerima dalam bentuk dolar, harusnya mengembalikan berupa dolar juga bukan rupiah, tambahnya.

 

Soal raibnya data beberapa obligor di Kejagung, Boyamin berpendapat, lembaga itu memang sudah tidak bisa dipercaya. Ia menganggap korps Adhyaksa tidak serius, bahkan hanya menjadi pembela koruptor BLBI. Jangan harap kasus BLBI akan tuntas selama masih ditangani oleh Kejagung. Mereka malah akan melindungi para pengemplang BLBI, tegasnya.

Tags: