Pencabutan Hak Politik Terdakwa Kasus Korupsi di Mata Penegak Hukum
Fokus

Pencabutan Hak Politik Terdakwa Kasus Korupsi di Mata Penegak Hukum

KPK terus mengajukan pencabutan hak dipilih bagi pelaku korupsi di sektor politik. Tidak hanya menyasar pejabat pusat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim tidak mengabulkan permintaan penuntut umum untuk dicabut hak politik. Pencabutan hak politik ini baru terealisasi pada putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan kemudian dikuatkan Mahkamah Agung.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, Djoko Susilo merupakan terdakwa kasus korupsi di tahap awal yang hak pilihnya diminta jaksa untuk dicabut. Setelah Djoko, muncul tuntutan serupa untuk sejumlah terdakwa lain yang menduduki jabatan publik. Sebut misalnya beberapa nama di Pengadilan Tipikor Jakarta: manta Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq, mantan Ketua DPR Setya Novanto, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola.

(Baca juga: Terbukti Korupsi, Zumi Zola Terima Divonis 6 Tahun Penjara).

Febri Diansyah juga menegaskan pihaknya tidak akan berhenti menuntut mereka yang korupsi dengan jabatan politik untuk dicabut haknya.  “Untuk korupsi di sektor politik, KPK akan secara serius untuk mempertimbangkan tuntutan tersebut (pencabutan hak politik). Karena selain pemiskinan koruptor melalui sarana hukum pasal gratifikasi dan pencucian uang, tuntutan hak politik kami harap bisa lebih memberikan efek jera sekaligus perlindungan bagi masyatakat agat tidak dipimpin oleh politisi yang pernah terbukti korupsi,” terang Febri.

Pertimbangan hakim

Upaya KPK untuk menuntut para terdakwa korupsi dengan pencabutan hak politik bukan tanpa hambatan. Ada beberapa contoh tuntutan itu diajukan tetapi ditolak majelis hakim khususnya pada pengadilan tingkat pertama dan baru dikabulkan oleh hakim pada tingkat berikutnya baik itu dalam proses banding ataupun kasasi.

Contohnya yang terjadi pada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi proyek Hambalang dan pencucian uang. Pengadilan tingkat pertama dan banding menolak tuntutan KPK mencabut hak politik Anas dengan alasan untuk memperoleh jabatan politik tergantung dari publik sehingga harus dikembalikan penilaian tersebut kepada publik atau masyarakat itu sendiri.

Tetapi Mahkamah Agung berpendapat lain. Majelis berpendapat publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. "Karenanya, kemungkinan publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya," kata Juru Bicara MA Suhadi seperti dilansir hukumonline pada 9 Juni 2015.

(Baca juga: Anas Urbaningrum Sodorkan Empat Novum di Memori PK).

Jauh sebelum Anas, Djoko Susilo yang menjadi terdakwa pertama pun dicabut hak politiknya oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta seperti dilansir pemberitaan hukumonline pada 19 Desember 2013. Padahal tuntutan ini sebelumnya dimentahkan oleh pengadilan tingkat pertama karena dianggap pencabutan hak politik terlalu berlebihan.

Putusan ini dikuatkan Mahkamah Agung. “Menghukum Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik,” kata majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar, M Askin dan MS Lumme sebagai anggota ini.

Majelis hakim telah menjatuhkan hukuman tambahan pencabutan hak dipilih kepada puluhan terdakwa kasus korupsi dengan pertimbangan beragam. Dan mungkin, jumlahnya akan terus bertambah.

Tags:

Berita Terkait