Penegak Hukum Diminta Perberat Hukuman Pelaku Rudapaksa Anak
Terbaru

Penegak Hukum Diminta Perberat Hukuman Pelaku Rudapaksa Anak

Para pemangku kepentingan harus segera mempercepat proses UU TPKS sebagai salah satu instrumen untuk mencegah berulangnya tindak kekerasan seksual yang sudah mengancam masa depan generasi muda di Tanah Air.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Masyarakat belakangan dibuat terhenyak dengan kabar perlakuan rudapaksa terhadap 12 santriwati di bawah umur di Bandung, Jawa Barat berdaaarkan dakwaan penuntut umum. Kegeraman publik dialamatkan terhadap si pelaku. Penegak hukum yang memproses secara pidana diminta mengganjar hukuman terberat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Sudah selayaknya pelaku dihukum dengan pemberatan. Apakah dengan hukum kebiri atau hukuman pidana seumur hidup, bahkan hukuman pidana mati sekalipun,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Senin (13/12/2021).

Dia mengatakan landasan hukum memperberat hukuman terhadap pelaku termuat dalam UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Selain mengatur hukuman kebiri, UU 17/2016 ini memuat hukuman pidana seumur hidup dan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. 

Dia merujuk Pasal 81 UU 17/2016 yang mengatur rumusan sanksi kebiri. Pasal 81 ayat (3) menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Pasal 83 ayat (4) menyebutkan, “Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D”. Kemudian ayat (5) menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 2O (dua puluh) tahun”.

Selanjutnya ayat (7) menyebutkan, “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Lantas Pasal 76D menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. 

Anggota Komisi VIII DPR itu menilai instrumen penjatuhan pemberatan hukuman terhadap pelaku amatlah layak. Apalagi salah satu syarat menjatuhkan hukuman maksimal telah terpenuhi. Sebab, korbannya adalah anak-anak di bawah umur dengan 12 orang santriwati. “Pemberatan hukum ini perlu menjadi pertimbangan polisi, jaksa, dan hakim yang mengadili dan memutus perkara yang sangat biadab dan menjadi perhatian publik ini,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu. (Baca Juga: “Jerat” Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak)

Hukuman tambahan kebiri

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti berpendapat oknum guru pelaku rudapaksa terhadap belasan santriwati memenuhi syarat agar diganjar hukuman kebiri. Pasalnya, jumlah korban lebih dari satu orang. Selain itu, perbuatan keji tersebut dilakukan secara berulang, sehingga layak diganjar pemberatan hukuman. “Itu membuat boleh dihukum tambahan. Kebiri itu namanya hukuman tambahan. Hukuman tambahan kebiri,” kata dia.

Dia menerangkan hukuman kebiri dapat diterapkan terhadap pelaku sepanjang pelaku telah menjalani hukuman pokok. Menurutnya, setelah pelaku menjalani hukuman 20 tahun penjara misalnya, hukuman kebiri dapat langsung diterapkan. Namun faktanya, sejak diberlakukannya UU 17/2016 belum pernah satupun pelaku rudapaksa terhadap anak-anak diterapkan hukuman kebiri. Pasalnya pelaku belum menyelesaikan hukuman pokoknya.

Kendati demikian, hukuman kebiri dapat berjalan efektif. Menurutnya bila hormon pelaku tinggi, dampak dari suntikan cairan kebiri bakal sangat berpengaruh. Namun demikian, perlu dilakukan rehabilitasi psikologi, sehingga pelaku tak lagi mengulangi perbuatan yang sama. “Supaya ada efek jera,” imbuhnya.

Percepat Pembahasan RUU TPKS

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) mesti diakselerasi agar segera menjadi UU. Sebab, dengan adanya UU TPKS nantinya agar penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak lebih efektif di Tanah Air. Seperti, dugaan kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik di sejumlah lembaga pendidikan di Bandung, Tasikmalaya, Cilacap, dan sejumlah daerah lain.

“Sejumlah kasus menyisakan puluhan korban anak-anak yang terdampak secara fisik dan kejiwaan,” kata dia.

Kekerasan seksual terhadap anak, kata perempuan biasa disapa Rerie itu, adalah kejahatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Bahkan berdampak menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa. Dia menilai kekerasan seksual terhadap anak secara nyata melawan konstitusi yang mengamanatkan agar setiap warga mendapat perlindungan sepenuhnya dalam memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia.

“Para pemangku kepentingan harus segera mempercepat proses UU TPKS sebagai salah satu instrumen untuk mencegah berulangnya tindak kekerasan seksual yang sudah mengancam masa depan generasi muda di Tanah Air.”

Politisi Partai Nasional Demokrat itu berpendapat melindungi setiap warga negara dari segala bentuk ancaman kekerasan merupakan amanat konstitusi yang wajib diprioritaskan untuk segera diwujudkan. Karenanya, semua kalangan berwenang di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewajiban untuk mewujudkan amanat UUD Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait