Penegak Hukum Setengah Dewa
Kolom

Penegak Hukum Setengah Dewa

Penegakan hukum yang berkeadilan dan objektif baru terjadi setelah viral dan timbul polemik di masyarakat. Kondisi inilah yang harus diubah oleh para penegak hukum.

Penegak Hukum Setengah Dewa
Hukumonline

"…Peraturan yang sehat yang kami mau, Tegakkan hukum setegak-tegaknya, Adil dan tegas tak pandang bulu.."

Mengawali artikel ini dengan petikan lagu ‘Manusia Setengah Dewa’ yang diciptakan oleh Iwan Fals. Apa yang tertuang dalam petikan lagu tersebut kini tengah menjadi perbincangan masyarakat baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang tengah dikejutkan dengan penetapan tersangka korban begal.

Berbagai polemik tentang keadilan hingga meme muncul di tengah masyarakat sehubungan dengan penetapan tersangka pihak yang menjadi korban begal di Lombok Tengah. Lebih mengherankan masyarakat, pihak kepolisian justru menetapkan pelaku begal sebagai saksi dalam perkara tersebut meskipun pada akhirnya polisi menghentikan penyidikan atas kasus tersebut.

Peristiwa di Lombok Tengah tersebut bukanlah peristiwa yang pertama kali, bahkan kasus sejenis sudah pernah terjadi di Malang (Jawa Timur) ketika pelajar korban begal membela diri dan melindungi pacarnya dari kejahatan begal justru dituntut hukuman seumur hidup. Korban yang menjadi tersangka, dan pelaku yang menjadi saksi bahkan pelapor kerap terjadi di daerah Lombok, masyarakat tentu masih mengingat kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang justru dilaporkan hingga dihukum oleh pengadilan hingga Mahkamah Agung dan pada akhirnya Baiq Nuril dibebaskan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) melalui mekanisme amnesti setelah menuai kecaman dan polemik masyarakat.

Contoh lainnya adalah peristiwa yang sempat viral di www.change.org Putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian yang menghukum sekeluarga akibat perkosaan yang dilakukan kakak kandung terhadap adik kandung yang juga dihukum karena dikenakan Pasal Aborsi saat kandungan hasil perkosaan kakak kandungnya tersebut gugur, (kesemuanya di bawah umur yakni 17 tahun dan 15 tahun) dan ibu kandung kedua anak tersebut juga dihukum karena dianggap membantu aborsi anaknya padahal hanya memberi pereda nyeri.

Baca juga:

Selain itu tentu masyarakat juga masih mengingat Putusan Pengadilan Negeri (PN) Ambon yang menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan penjara untuk Rasilu penarik becak di Ambon. Ihwal dijatuhinya pidana Rasilu adalah bermula ketika Rasilu mengantar penumpangnya yang dalam keadaan sakit ke rumah sakit melalui jalan pintas, selanjutnya becak Rasilu menghindari mobil dengan kecepatan tinggi dan arena kondisi hujan maka becak Rasilu beserta penumpang tersebut terguling dan tak lama kemudian penumpang tersebut meninggal dunia.

Rasilu dipidana atas meninggalnya penumpang tersebut meskipun keluarga penumpang tersebut telah berdamai dengan Rasilu dan mencabut laporan. Anehnya dalam kasus tersebut pada proses penyidikan hingga persidangan aparat penegak hukum tidak menghadirkan pengendara mobil, padahal pangkal kecelakaan yang menewaskan penumpang tersebut adalah mobil tersebut.

No Viral No Justice?

Jika melihat ‘rentetan peristiwa’ diatas maka konstruksi korban diposisikan sebagai pelaku sudah terjadi di hampir seluruh Indonesia. Persoalannya mengapa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas ? Philp Nonet (1987), menjelaskan sensitivitas aparat penegak hukum untuk akan keadilan untuk semua lapisan belum terjadi, sehingga menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas akan keadilan erat kaitannya dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali.

Pembedaan perlakuan dalam proses hukum dan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan (disparitas) mengacu pada penelitian Nawawi et all (2015), disebabkan karena dua hal yakni faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis disebabkan karena pemahaman akan substansi hukum dan proses yudisial belum merata antar sesama penegak hukum di Indonesia, hal ini terlihat karena pada institusi penegakan hukum masih mengenal kelas, (misalnya pengadilan kelas Ia, Ib dan seterusnya, demikian juga dengan kejaksaan dan kepolisian).

Pembagian kelas dan tipe tersebut selain menunjukkan intensitas perkara juga kualitas dan pengalaman SDM aparat penegak hukum yang bertugas. Faktor yang kedua yakni faktor non teknis yakni terkait integritas oknum aparat penegak hukum, dalam pemikiran Klitgard (1999) yang kemudian dikenal dengan teori CDMA, penyimpangan pada profesi penegak hukum dimungkinkan menurut rumus koruptif , yakni C ( Corruption/penyimpangan) = D (Diskresi / kebebasan) + M (Monopoli) – A (Akuntability).

Jika melihat sederhananya kasus-kasus semestinya penyimpangan maupun disparitas proses penegakan hukum tidak disebabkan oleh faktor teknis, tetapi nampaknya jika merunut teori CDMA lebih disebabkan pada sebab non teknis. Mengingat ada perbedaan kontras terkait proses penegakan hukum begal di Lombok Tengah yang sedang viral tersebut dengan kasus sejenis lainnya.

Bagaimanapun negara berkewajiban menghadirkan keadilan yang sama untuk setiap warga negara, sebagaimana tersebut dalam konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kasus Lombok Tengah hingga Rasilu adalah bukti hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dalam hal ini pihak yang terkait (Komisi Kepolisian, Kejaksaan dan Yudisial) harus menaruh atensi serius guna tercapainya prinsip negara hukum yakni kesamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law) yang belum dapat diperoleh pada penegakan hukum di Indonesia.

Langkah korektif pada penegakan hukum selain mengembalikan rasa keadilan pada para korban juga sekaligus memberi keyakinan pada masyarakat bahwa akses keadilan dapat diperoleh oleh seluruh warga negara tanpa pembedaan apapun. Selain langkah korektif melalui upaya yudisial tetapi evaluasi atas proses hukum yang dialami oleh para korban yang diproses hukum sebagai pelaku mulai penyidikan hingga putusan pengadilan perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan dan menggali alasan terjadinya disparitas perlakuan dan putusan tersebut.

Sebagai catatan kritis atas serangkaian perlakukan korban sebagai pelaku adalah kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). Dengan banyaknya peristiwa korban diperlakukan sebagai pelaku tersebut artinya LPSK perlu dievaluasi dan dioptimalkan perannya khususnya dalam hal memberi perlindungan pada korban dari kesewenang-wenangan hukum itu sendiri. Di samping itu penegak hukum harus segera berubah menjadi penegak hukum ‘setengah dewa’ sebagaimana digambarkan dalam petikan lagu Manusia Setengah Dewa tersebut.

Selama ini penegakan hukum yang berkeadilan di tengah masyarakat masih dipandang sebagai retorika dan pencitraan belaka. Hal ini ditegaskan dengan ‘slogan’ yang beredar di masyarakat yakni, ‘no viral – no justice’. Artinya penegakan hukum yang berkeadilan dan objektif baru terjadi setelah viral dan timbul polemik di masyarakat. Kondisi inilah yang harus diubah oleh para penegak hukum, yakni keadilan di tengah masyarakat harus diberikan terlepas siapa pelaku dan korbannya dan sekalipun kasus tersebut tidak viral di tengah masyarakat.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor Bidang Hukum, Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait