Penerapan Restorative Justice terhadap Perkara Korupsi Dinilai Berlebihan
Terbaru

Penerapan Restorative Justice terhadap Perkara Korupsi Dinilai Berlebihan

Karena berpotensi menjadi bargaining dengan oknum aparat penegak hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat menjadi keynote speech dalam seminar bertajuk 'Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia', Rabu (2/11/2022).
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat menjadi keynote speech dalam seminar bertajuk 'Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia', Rabu (2/11/2022).

Belum adanya regulasi yang mengatur jenis-jenis tindak pidana apa saja yang dapat menerapkan restorative justice memunculkan usulan jenis tindak pidana yang bisa diterapkan restorative justice. Seperti tindak pidana terorisme, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, hingga tindak pidana korupsi. Belakangan ada wacana dari komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar perkara tindak pidana korupsi dapat menerapkan restorative justice.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengatakan konsep keadilan restoratif sudah dituangkan dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Khususnya dalam Pasal 51C yang menyebutkan, “Pemidanaan bertujuan:… c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat”.

“Salah satunya, sanksi pidana kerja sosial yang memiliki semangat restorative justice,” ujar Arsul Sani dalam seminar bertajuk “Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana di Indonesia” di Jakarta, Rabu (3/11/2022) kemarin.

Baca Juga:

Namun, belakangan muncul perkara tindak pidana korupsi hendak diterapkan restorative justice agar pengembalian kerugian keuangan negara dari pelaku tindak pidana korupsi lebih cepat.  Bagi Arsul, usulan tersebut tidaklah tepat. Arsul melihat wacana tersebut masih memerlukan pengkajian mendalam. Anggota Komisi III DPR itu berpandangan bila diterapkan restorative justice, pelaku tipikor dapat melakukan bargaining dengan oknum aparat penegak hukum.

Wong tipikor di-restorative justice, itu tidak pas,” tegasnya.

Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro mengatakan lembaga negara yang dipimpinnya sedang menyusun rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang restorative justice. Salah satu diantaranya mengatur tentang jenis tindak pidana yang dapat diterapkan restorative justice. Seperti rumusan tindak pidana ringan, tindak pidana karena kelalaian, tindak pidana keluarga, tindak pidana lalu lintas.

Dia mengakui dalam perkembangan penyusunan oleh kelompok kerja (Pokja) restorative justice muncul tindak pidana terorisme, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Tentu saja hal ini menimbulkan perdebatan bila tiga jenis tindak pidana tersebut diterapkan restorative justice.

Tags:

Berita Terkait