Penghapusan Abu Batubara dari Kategori Limbah B3 Dinilai Langgar Konstitusi
Utama

Penghapusan Abu Batubara dari Kategori Limbah B3 Dinilai Langgar Konstitusi

Bertentangan pula Penjelasan Pasal 2 huruf UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak dalam kasus pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU 32/2009 bakal sulit dilaksanakan. Tapi, pemerintah membantah karena tidak semua jenis FABA atau abu sisa pembakaran batu bara dikeluarkan dari kategori limbah B3.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES

Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin seolah terus membuat kebijakan yang menuai kontroversi di masyarakat. Setelah membuka kran investasi minuman keras dan mencabutnya lagi, kini menghapus/mencabut abu batubara dari kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kebijakan ini dianggap melanggar konstitusi. Alih-alih kebijakan tersebut sebagai upaya menarik investor masuk, malah menjadi polemik di masyarakat.

Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin menilai kebijakan pemerintah melalui PP 22/2021 terkait penghapusan abu batubara dari limbah B3 menjadi kontroversial. Sebab, selama ini praktik penilaian terhadap abu batubara dikategorikan limbah B3 yang berbahaya bagi kehidupan masyarakat.

“Regulasi penghapusan abu batubara dari kategori B3 adalah bentuk pelanggaran konstitusi yakni Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” ujar Andi Akmal dalam keteranganya, Minggu (14/3/2021) kemarin. (Baca Juga: 4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3)

Dia mengingatkan lingkungan hidup yang sehat menjadi hak asasi setiap warga Indonesia. Hal ini amanat Pasal 28H ayat (1) UUD  1945 yang menyebutkan. “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

PP 22/2021 merupakan satu dari puluhan aturan turunan dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. PP 22/2021 ini resmi berlaku sejak 2 Februari 2021 lalu. Namun publik baru mengetahui awal Maret 2021 ini. Akmal sebagai anggota dewan dan masyarakat baru mendapat sosialisasi beleid tersebut. Menurutnya, materi muatan yang menghilangkan abu batubara dari kategori B3 berbahaya bila dibiarkan di masa mendatang.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menyesalkan pemerintah yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dengan memperhitungkan fly ash dan bottom ash (FABA) sebagai bahan baku ekonomis, tapi cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat. Khususnya hak asasi publik untuk mendapat lingkungan hidup yang sehat. Baginya, paradigma pembangunan ekonomi mesti dilaksanakan secara utuh dan berkelanjutan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD Tahun 1945.

Dia berpendapat paradigma berkelanjutan merupakan pola pembangunan ekonomi yang berorientasi kepentingan jangan panjang dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Banyak penelitian yang menyebutkan limbah abu batu bara merupakan limbah B3 yang dapat merusak organ manusia. Bahkan menjadi penyebab gangguan kesehatan. Seperti pernafasan, kanker, ginjal, bahkan kerusakan saraf.

Pria biasa disapa Akmal itu menolak PP 22/2021 dan meminta mencabut aturan melonggarkan pengelolaan abu batubara serta tetap mengategorikan FABA sebagai limbah B3. Baginya, kepentingan publik untuk mendapatkan hak lingkungan hidup yang sehat dan ekonomi jangka panjang menjadi keharusan. “Kami tidak mentolerir bentuk ketidakhati-hatian pemerintah yang dapat menyebabkan kerugian bagi kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat,” kata dia.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati melihat UU 11/2020 terbukti mewujudkan pelayanan pemerintahan Joko Widodo bagi pebisnis dengan mengorbankan kepentingan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Salah satu diantaranya dengan PP 22/2021 yang di dalamnya mengubah sembilan PP lain terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dia menilai dalam PP No.22/2021 ini aspek perlindungan lingkungan hidup hanya sekadar menjadi tempelan dalam judul peraturan pemerintah. Menurutnya, salah satu yang terdampak adalah PP No.101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3). Sementara dalam lampiran XIV PP 22/2021 ini, beberapa limbah B3 dikategorikan menjadi limbah non-B3. Seperti FABA PLTU batubara, spent bleach earth (SBE) industri minyak nabati/hewani, slag peleburan besi, slag peleburan nikel, serta lainnya.

“Di tengah masih belum terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah malah melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3. Ini adalah salah satu aksi kebijakan pemerintah yang sangat tidak etis,” ujar Nur Hidayati dalam keterangan.

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung menambahkan pemerintah seolah memberi kesan limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan bila dikategorikan sebagai limbah non-B3. Padahal, limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 sebagaimana diatur PP 101/2014. Dia menilai, pengubahan limbah B3 menjadi non-B3 secara menyeluruh tanpa melalui uji karakteristik menunjukan pemerintah bertindak serampangan.

“Padahal selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” bebernya.

Alih-alih melakukan pengetatan dan mengaplikasikan pencegahan berdasarkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), pemerintah malah melakukan upaya “pemutihan” kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan para pebisnis nakal. Karena itu, tindakan tersebut bertentangan dengan penjelasan asas kehati-hatian dalam Penjelasan Pasal 2 huruf F UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Penjelasan Pasal 2 huruf F UU 32/2009 menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.

Sawung menilai PP 22/2021 bakal membuat masyarakat yang selama ini menggunakan instrumen aturan pengelolaan limbah B3 untuk menahan atau melawan pencemaran lingkungan menjadi lebih sulit. Sebab, secara peraturan limbah B3 telah menjadi limbah non-B3. Dampaknya ke depan, proses penegakan hukum terkait penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak dalam kasus pencemaran lingkungan sulit dilaksanakan.

Khususnya, penerapan Pasal 88 UU 32/2009 yang menyebutkan, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

“Pengabaian ini berpotensi mengakibatkan beban biaya kesehatan masyarakat akan meningkat di masa depan,” dalihnya.

Ada jenis FABA bukan B3

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menampik tudingan semua jenis FABA atau abu sisa pembakaran batu bara dikeluarkan dari kategori limbah B3. Menurutnya, limbah B3 FABA masih menjadi kategori limbah B3. “Isu limbah batu bara dikeluarkan dari limbah B3 semuanya itu tidak benar. Itu yang perlu dicatat. Limbah B3 fly ash dan bottom ash masih menjadi limbah B3,” dalihnya.

Vivien menilai, fly ash atau abu terbang masih masuk kategori limbah B3 dengan kode B409. Sama halnya dengan bottom ash atau abu padat yang memiliki kode BB410. Namun memang terdapat jenis FABA yang dikeluarkan dari kategori B3 menjadi limbah non-B3 yakni abu yang dihasilkan dari sistem pembakaran dengan sistem pulverized coal (PC) boiler.

PC boiler merupakan bejana tertutup untuk proses pembakaran yang mengubah air menjadi uap panas yang bertekanan tinggi yang dalam proses pembakarannya menggunakan bahan bakar batu bara yang dihaluskan terlebih dahulu. “Kalau industri yang menggunakan fasilitas stoker boiler dan atau tungku industri, limbah batu baranya atau fly ash dan bottom ash masih menjadi limbah B3,” tegasnya.

Sedangkan FABA dari proses pembakaran di luar jenis itu, seperti di PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3 dengan beberapa pertimbangan, antara lain pembakaran batubara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan.

Hal tersebut yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, subtitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang. Selain itu, dalam hal pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah, seperti yang terjadi di tungku industri kemungkinan terdapat unburnt carbon di dalam FABA masih tinggi yang mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan, sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3.

”Dalam PP 22/2021 telah diatur pengelolaan limbah harus melaksanakan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle oleh penghasil atau jasa pengolah atas seluruh jenis limbah baik limbah kategori limbah B3 ataupun limbah nonB3. Prinsip tersebut meliputi upaya pengurangan limbah atau waste minimization, pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun atau from cradle to grave, pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular atau from cradle to cradle, penghasil bertanggungjawab atas pencemaran atau polluter pay, kedekatan pengelolaan limbah dengan lokasi pengolahan atau proximity dan pengelolaan berwawasan lingkungan atau environmentally sound management.

"Dalam PP 22/2021, pengelolaan limbah B3 dilaksanakan berdasarkan Persetujuan Teknis (Pertek) dan dilengkapi dengan Surat Layak Operasional (SLO), dan pengelolaan limbah nonB3 persyaratan dan standar pengelolaannya tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan," terang Vivien.

Sebagaimana diketahui, dalam Lampiran XIV dari PP 22/2021 beberapa limbah B3 dikategorikan menjadi limbah non-B3. Seperti FABA PLTU batu bara; SBE industri minyak nabati/hewani; slag peleburan besi; slag peleburan nikel; serta lainnya. Akibat kebijakan tersebut, berpotensi besar terhadap dampak kesehatan masyarakat luas.

Tags:

Berita Terkait