Penguatan Hak Fair Trial Terkait Eksekusi Pidana Mati dalam RKUHAP
Utama

Penguatan Hak Fair Trial Terkait Eksekusi Pidana Mati dalam RKUHAP

Ada 12 poin rekomendasi terkait proses eksekusi pidana dalam RKUHAP yang perlu mendapat perhatian bagi pembentuk UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pidana mati
Ilustrasi pidana mati

Pidana mati masih menjadi salah satu jenis pidana pokok dalam perumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pidana mati ini menjadi pidana yang bersifat khusus yang diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir. Untuk itu, prinsip hak-hak fair trial bagi orang yang berhadapan dengan ancaman pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pengaturannya perlu diperkuat.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengatakan sejumlah hasil riset menyatakan penegak hukum yang menangani tersangka/terdakwa yang terancam pidana mati harus memenuhi hak-hak fair trial dengan standar tertinggi dan tingkat kehati-hatian maksimal. Karenanya, aturan tingginya standar dalam pemenuhan hak-hak fair trial mesti dituangkan dalam aturan setingkat UU.

“Sudah semestinya ditindaklanjuti dalam konteks legislasi,” ujarnya dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Bagi Arsul, kendatipun KUHAP dan RKUHAP telah memuat hak-hak fair trial, namun masih perlu diperkuat dengan ketentuan dan mekanisme yang jelas agar hak-hak tersebut dipenuhi dengan standar dan kehati-hatian yang maksimal. Dia menilai penguatan penerapan secara khusus prinsip hak-hak fair trial bagi tersangka/terdakwa yang terancam hukuman pidana mati menjadi bagian dari reformasi hukum acara pidana.

Baca juga:

Pria yang tercatat sebagai anggota Komisi III DPR itu menegaskan perlunya penguatan hak-hak fair trial dirumuskan dalam norma yang mengatur fair trial dengan standar dan kehati-hatian yang maksimal harus diterapkan bagi tersangka/terdakwa yang terancam pidana mati. Termasuk berbagai konsekuensinya apabila tidak diterapkan oleh penegak hukum.

Dia mengungkapkan RKUHAP bakal menjadi inisiatif DPR. Karenanya akademisi dan elemen masyarakat sipil mendapat kesempatan luas untuk mengartikulasikan bunyi pasal-pasal. Makanya Arsul mendorong elemen masyarakat memberikan masukan dari perspektif filosofis, sosiologis termasuk hasil penelitian empirik. “Dan penting lagi, bunyi normanya itu juga harus dimunculkan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait