Pentingnya Memperkuat Aturan Pembayaran Restitusi
Utama

Pentingnya Memperkuat Aturan Pembayaran Restitusi

Selain tersebar di beberapa peraturan dan UU belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, juga tidak ada lembaga yang secara tegas diberi kewenangan mengawasi proses pelaksanaan eksekusi restitusi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Bamsoet, begitu biasa disapa, berharap betul agar di periode 2022 tingkat kejahatan dapat berkurang. Begitu pula dengan pelaksanaan restitusi terhadap korban dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh pelaku. “Serta meminta pemerintah memastikan dan mengawasi hal tersebut,” katanya.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani menilai berbagai ketentuan hukum materil tentang restitusi bagi korban di berbagai peraturan belum secara tuntas diatur dalam sistem pemidanaan. Tak hanya itu, tak ada penjelasan gamblang soal restitusi masuk dalam pidana pokok atau tambahan. Sebabnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur soal restitusi.

Pasal 7 ayat (1) UU 13/2006 sudah mengatur mekanisme prosedur pengajuan restitusi dengan melibatkan LPSK yang dimohonkan korban tindak pidana. Namun praktiknya, korban harus menempuh prosedur yang cukup panjang. Masalah lain, tidak jelasnya pengaturan pihak atau lembaga yang berwenang mengeksekusi pelaksanaan restitusi.

Dalam UU 13/2006, LPSK hanya berwenang memberi perlindungan dan hak-hak saksi dan korban. Tak ada satupun kewenangan LPSK melaksanakan putusan pengadilan tentang restitusi yang diajukan korban tindak pidana. Demikian pula PP 44/2008 pun tidak mengatur tegas kewenangan LPSK dalam melaksanakan putusan pengadilan terkait restitusi.

Menurut Arsul, tidak ada prosedur dan mekanisme tunggal dalam pemberian restitusi oleh lembaga yang diberikan wewenang negara kepada korban tindak pidana atau keluarganya. Meskipun restitusi umumnya diajukan melalui LPSK. Tapi, UU 21/2007 malah membuka peluang pengajuan restitusi tanpa melalui LPSK.

Sebagaimana diberitakan, dalam kasus rudapaksa terhadap 13 santriwati, terpidana Herry Wirawan diganjar hukuman seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung. Dalam amar putusannya, Herry tak dapat dikenakan hukuman pidana lain berdasarkan ketentuan dalam Pasal 67 KUHP.

Namun, Majels Hakim menetapkan pembayaran restitusi sebesar Rp331,5 juta untuk 13 korban. Namun semula restitusi dituntut penuntut umum terhadap pelaku, bergeser dibebankan kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) agar membayar ke korban tindak pidana.

Majelis beralasan Undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, apabila pelaku berhalangan untuk membayar restitusi tersebut. Karena itu, menurut Majelis, restitusi sebesar Rp331,5 juta itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban.

"Rp331 juta dibebankan kepada KPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya,” demikian pertimbangan Majelis.

Tags:

Berita Terkait