Pentingnya Pembuktian Unsur Pidana dalam Menjerat Penyebar Hoaks
Berita

Pentingnya Pembuktian Unsur Pidana dalam Menjerat Penyebar Hoaks

​​​​​​​Antara lain apakah informasi yang disampaikan itu menimbulkan permusuhan dan kebencian di masyarakat, atau tanpa hak untuk menyebarkan informasi itu.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Seniman sekaligus aktivis politik Ratna Sarumpaet telah mengakui dirinya berbohong. Sebelumnya, Ratna mengaku dipukuli sekelompok orang di Bandung. Kemudian Ratna mengadakan jumpa pers dan menyatakan pernyataan itu tidak benar. Persoalan ini berbuntut pada penangkapan Ratna oleh polisi saat berada di bandara Soekarno Hatta.

 

Pengakuan Ratna telah berbohong pun berbuntut panjang. Pernyataan maaf dari Ratna tampaknya tidak menyulutkan keinginan beberapa kelompok masyarakat untuk melaporkan Ratna dan beberapa lainnya seperti Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke pihak berwajib. Salah satu pelapornya adalah Habib Muannas Al Aidid.

 

Ketua Umum Cyber Indonesia itu melaporkan Ratna dkk (12 orang) ke Polda Metro Jaya dengan dugaan pelanggaran ujaran kebencian yakni pasal 28 ayat (2) jo pasal 45A ayat (2) dan/atau pasal 35 jo pasal 51 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau pasal 14 dan/atau pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Tujuan laporan itu agar tidak terjadi lagi kelompok yang menggunakan kebohongan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Apalagi saat ini Indonesia masih berduka akibat bencana gempa bumi dan tsunami yang dialami masyarakat Palu.

 

Muannas berharap aparat kepolisian segera memproses laporan itu dan berlanjut sampai pengadilan agar bisa memberi efek jera dan menjadi peringatan bagi semua pihak. Sekalipun Ratna sudah minta maaf, proses pidana tetap berjalan. “Permintaan maaf tidak menggugurkan proses pidana,” kata Muannas ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (4/9).

 

Pelaporan juga dilakukan kelompok advokat yang tergabung dalam Lawyer Anti Hoax (LAH). Salah satu anggota LAH, Saor Siagian, mengatakan pihaknya telah melaporkan sejumlah nama antara lain Prabowo Subianto dan Fadli Zon ke Bareskrim Mabes Polri. Saor juga melakukan laporan serupa ke Majelis Kehormatan DPR (MKD). “Hoaks/berita palsu adalah tindakan yang dianccam dengan pidana sebagaimana diatur UU No.1 Tahun 1946 dan UU ITE,” ujarnya.

 

Baca:

 

Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran, Yesmi Anwar, mengatakan, harus ditelusuri lebih jauh lagi untuk menilai apakah suatu perbuatan itu tergolong pidana atau tidak. Misalnya, apakah perbuatan yang dilakukan itu memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam UU. Dalam kasus kebohongan publik, ini berlaku untuk orang yang memiliki jabatan publik.

 

Untuk pihak yang tidak menyandang jabatan publik, harus diukur apakah kebohongan yang dilakukan itu sampai mengganggu ketertiban umum? “Menurut saya ukurannya harus jelas untuk menentukan apakah seseorang melakukan tindak pidana atau tidak,” urai Yesmi.

 

Mengenai laporan yang dilakukan terhadap Ratna dkk, Yesmi mengatakan, itu boleh saja karena prinsipnya aparat kepolisian menerima semua laporan masyarakat. Tapi dalam prosesnya nanti aparat akan memilah apakah laporan itu bisa ditingkatkan atau tidak untuk berlanjut prosesnya dari penyelidikan, penyidikan sampai pengadilan. “Intinya belum bisa dibilang Ratna melakukan pidana atau belum karena harus ditelusuri dulu lebih lanjut,” tegasnya.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, menjelaskan pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebut setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dalam kasus ini, sebelum mengaku berbohong, Ratna telah konsisten mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya baik kepada media dan pihak lain.

 

“Konsistensi itu yang dalam pidana disebut ada intention atau niat untuk menyebarkan informasi yang tidak benar. Perlu di lihat lagi apakah dalam informasi itu adakah unsur menimbulkan kebencian atau permusuhan di kalangan masyarakat,” papar mantan calon pimpinan KPK itu.

Selain itu Jamin menyoroti frasa ‘setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi.’ Menurutnya, frasa itu menyangkut eksistensi apakah orang tersebut berwenang atau tidak menyebarkan informasi yang bersangkutan. Frasa ini menurutnya ‘aneh’ karena sifatnya pribadi dan berpotensi menyulitkan penyidik untuk menelusurinya.

Staf Pengajar STHI Jentera, Miko Ginting, berpendapat kasus ini masuk dalam delik penyebaran berita bohong, menyesatkan, dan tidak lengkap. Tapi perlu diingat, perbuatan ini harus menimbulkan akibat yakni menyebabkan terjadinya keonaran. Ketentuan ini diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946. “Yang menentukan terjadi keonaran atau tidak itu penuntut umum di persidangan dan diputus hakim,” ujarnya.

Miko mengkritik ketentuan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1946. Menurutnya, ketentuan tersebut sangat longgar karena tidak memuat unsur kesengajaan. Akibatnya bisa berdampak buruk terhadap kebebasan berekspresi. Selaras itu yang penting dilakukan aparat yakni menyeimbangkan upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan kebebasan berekspresi.

Miko menjelaskan delik yang diatur pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 sifatnya formil yakni harus ada akibatnya. Polisi bisa memproses kasus ini tanpa adanya laporan dari masyarakat. “Tapi penting untuk dicatat, delik ini bermasalah karena bisa menjerat banyak kalangan termasuk jurnalis,” ujarnya.

Tak ketinggalan Miko mengkritik upaya paksa yang dilakukan kepolisian dalam menangani kasus ini. Miko mencatat, setidaknya aparat melakukan sejumlah upaya paksa seperti penggeledahan di RS, mengambil buku register, rekaman CCTV, dan membuka rekening untuk melihat data transaksi. Menurutnya upaya paksa ini tidak dapat dilakukan dalam proses penyelidikan. “Ini artinya peristiwa pidana belum ditemukan tapi upaya paksa sudah dilakukan,” tukasnya.

Sampai berita ini dibuat upaya untuk menghubungi Ratna melalui telepon dan pesan singkat tak berbuah hasil. Begitu pula dengan Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman. “WA aja,” ujar politisi partai Gerindra itu melalui pesan singkat. Namun, pertanyaan lanjutan Hukumonline, tak dijawabnya.

Tags:

Berita Terkait