Pentingnya Penerapan Sita Jaminan dalam Penanganan Perkara Korupsi
Kolom

Pentingnya Penerapan Sita Jaminan dalam Penanganan Perkara Korupsi

Jangan sampai proses pemulihan kerugian keuangan negara menjadi hal mustahil, sedangkan pada waktu bersamaan ada potensi pengalihan aset pelaku kepada pihak lain.

Bacaan 6 Menit

Selain persoalan di atas, perolehan uang pengganti yang terpaut jauh dari kerugian keuangan negara juga tak bisa dilepaskan dari kegagalan aparat penegak hukum memaksimalkan penelusuran aset hasil kejahatan. Hal ini menjadi penting, sebab, dengan menelusuri kemudian dilanjutkan penyitaan, aset hasil kejahatan tersebut tidak sekadar berfungsi memperkuat sangkaan kesalahan, namun juga berkelindan pada upaya memulihkan kerugian keuangan negara. Hanya saja, harus diakui ada keterbatasan pendefinisian penyitaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berdampak terhadap rendahnya pemulihan kerugian keuangan negara.

Seperti diketahui, penyitaan diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang mana telah membatasi tindakan tersebut hanya bisa dikenakan terhadap benda atau tagihan dalam kaitan suatu kejahatan. Secara ringkas, objek sita di luar atau tidak terkait dengan tindak pidana dilarang dikenakan penyitaan.

Namun konsep itu tidak sepenuhnya berlaku jika berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya saat pelaku dikenakan pidana tambahan uang pengganti. Sebab, Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor membuka ruang penyitaan kembali saat putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dengan syarat pelaku tidak melunasi pembayaran uang pengganti. Pada fase ini, penyitaan dilakukan terhadap segala aset milik terpidana sekalipun tidak berkaitan dengan tindak pidana. Maka dari itu, penyitaan dalam UU Tipikor dapat dilakukan dua kali, yakni, saat proses penyidikan dan pasca putusan inkracht.

Permasalahan pun muncul, bagaimana jika kemudian pelaku mengalihkan aset miliknya ke pihak lain saat proses penyidikan dengan tujuan agar ketika putusan inkracht harta bendanya tidak bisa disita dan dirampas oleh aparat penegak hukum? Tentu opsinya hanya tersisa menjalani pidana penjara pengganti yang biasanya juga tidak setimpal dengan kesalahannya. Berkenaan dengan persoalan itu, dibutuhkan reformulasi konsep penyitaan dengan mengadopsi ketentuan sita jaminan (conservatoir beslag) dari hukum perdata ke dalam pengaturan tindak pidana korupsi.

Konsep sita jaminan pada dasarnya hanya diatur dalam rumpun hukum perdata, tepatnya Pasal 227 ayat (1) Herzien Indlansch Reglement. Dalam aturan itu disebutkan bahwa sita jaminan merupakan sebuah langkah hukum yang diajukan ke pengadilan oleh debitur dengan harapan agar hakim memerintahkan tindakan penyitaan terhadap aset milik kreditur sebagai jaminan kemampuan pembayaran hutang. Dari sini bisa ditarik dua hal, yakni, debitur merasa khawatir aset milik kreditur dialihkan sehingga tidak cukup untuk membayar kewajiban hutang dan penyitaan tersebut bersifat sementara atau bukan suatu rampasan. Sederhananya, jika debitur ternyata mampu membayar hutang, maka sitaan tersebut akan dikembalikan. Perasaan kekhawatiran atau subjektif itu akan diobjektifkan dengan tolak ukur tertentu melalui pertimbangan hakim saat permohonan disampaikan ke pengadilan.

Dengan logika yang sama jika diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi maka besar kemungkinan selisih kerugian keuangan negara dengan uang pengganti tidak terpaut jauh sebagaimana kerap terjadi belakangan waktu terakhir. Teknisnya, ketika dilakukan reformulasi konsep penyitaan, aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk menyita aset di luar tindak pidana sebagai jaminan bahwa pelaku mampu melunasi uang pengganti. Selain itu, penguasaan objek sita jaminan bukan dikuasai sepenuhnya oleh aparat penegak hukum, melainkan hanya berkas administrasi kepemilikannya saja yang kemudian dikenakan tindakan tersebut. Penting ditekankan, sita jaminan ini tetap harus menggunakan basis penetapan hakim untuk memitigasi adanya penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum. Jika hakim berpandangan argumentasi penegak hukum berlebihan atau tanpa dasar, tidak menutup kemungkinan permohonan sita jaminan akan ditolak.

Sebenarnya, ide untuk menerapkan sita jaminan ini bukan kali pertama mencuat ke tengah masyarakat. Sebelumnya Mahkamah Agung melalui Ketua Kamar Pidana, Artidjo Alkostar, sempat mengutarakan hal serupa. Sayangnya pembahasannya menguap begitu saja tanpa ada produk hukum konkret. Lebih jauh lagi, bahkan, yurisprudensi pengenaan sita jaminan korupsi pun pernah tertuang dalam putusan tahun 2010 dengan terdakwa Drs Fathor Rasjid. Dalam pertimbangannya turut disebutkan adanya aset yang dikenakan sita jaminan untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Sayangnya, langkah progresif ini baru tertuang dalam yurisprudensi putusan tanpa ada payung hukum yang mampu mendasarinya.

Tags:

Berita Terkait