Pentingnya UU Migas Baru untuk Perbaikan Tata Kelola Migas Nasional
Berita

Pentingnya UU Migas Baru untuk Perbaikan Tata Kelola Migas Nasional

Disayangkan hingga masa jabatan anggota DPR Periode 2014-2019 berakhir, pembahasan Revisi UU Minyak dan Gas Bumi tidak pernah rampung.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Lifting Minyak dan Gas Bumi diketahui hingga menjelang akhir tahun 2019 masih belum mencapai target yang ditentukan oleh Pemerintah. Bahkan terdapat kecenderungan lajunya terus menurun. Kurang dari seminggu tutup tahun 2019, lifting Migas bahkan baru mencapai 89% dari target APBN yakni sebesar 2,03 juta barel setara minyak per hari (barel oil equivalent per day/BOEPD).

 

“Tercatat total lifting migas sebesar 1,8 juta BOEPD dengan rincian lifting minyak 745.000 barel per hari (bph) dengan target minyak 775.000 bph. Untuk lifting gas, realisasinya mencapai 1,05 juta BOEPD, sementara target lifting gas 1,25 juta BOEPD atau baru 84%,” ujar pengamat energi dan pertambangan, Bisman Bhaktiar kepada awak media, Jumat (27/12), di Jakarta.

 

Menurut Bisman, tren penurunan lifting migas tidak hanya terjadi pada tahun ini. Ia mengatakan sudah hampir 10 tahun terakhir lifting migas rata-rata terus turun. Hal ini patut menjadi perhatian dan dilakukan evaluasi untuk mendapatkan sumber masalah dan solusinya.

 

Oleh karena itu, Bisman berpendapat kegiatan eksplorasi dan upaya penemuan lapangan baru perlu diintensifkan dengan memberikan kemudahan dan perbaikan tata kelola, salah satunya dengan segera menyelesaikan Revisi UU Minyak dan Gas Bumi.

 

“Revisi UU Migas diharapkan membawa wajah baru tata kelola migas yang lebih kondusif,” ujar Pria yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) ini.

 

Menurut Bisman, Revisi UU Minyak dan Gas Bumi telah ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna tanggal 3 Desember 2018 dan disampaikan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti dengan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Namun hingga masa jabatan anggota DPR Periode 2014-2019 berakhir, pemerintah belum menyerahkan DIM kepada DPR, sehingga Revisi UU Migas belum dapat dilakukan pembahasan.

 

Oleh karena itu, ia menyayangkan tidak rampungnya pembahasan Revisi UU Migas di DPR. Menurut Bisman, inisiatif penyusunan Revisi UU Migas telah dimulai sejak 2010. Artinya, hampir 10 tahun pembahasan revisi undang-undang ini tidak selesai. Sementara kebutuhan akan adanya Undang-Undang Migas yang baru sudah sangat mendesak.

 

Pada 2012 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan sebagian pasal dalam UU Migas sehingga mengakibatkan kelembagaan hulu migas BP Migas bubar dan digantikan sementara SKK Migas. “Kebutuhan UU Migas baru sangat mendesak untuk mendukung perbaikan tata kelola Migas nasional,” ungkap Bisman. 

 

(Baca: Perjalanan Panjang Menanti Pengesahan RUU Migas yang Terus Molor)

 

Untuk itu, Bisman menegaskan agar DPR dan Pemerintah harus didesak untuk segera membuat UU Migas baru dengan secepatnya. Agar proses ini cepat dan menghasilkan Revisi UU Migas yang lebih baik, sebaiknya inisiatif atau penyusun draf Revisi UU Migas diserahkan kepada Pemerintah.

 

“Selanjutnya draf pemerintah disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas bersama dengan DIM dari DPR,” ujar Bisman.

 

Pembangunan Kilang

Selama puluhan tahun pembangunan kilang minyak tidak terealisasi, padahal kebutuhan BBM semakin meningkat pesat. Menurut Bisman hal ini berdampak pada rentannya kemandirian dan ketahanan energi nasional. “Bahkan Presiden Joko Widodo menyesalkan karena perintahnya sejak 5 tahun yang lalu untuk melakukan pembangunan kilang tidak dilaksanakan dengan baik,” ungkap Bisman.

 

Bisman menilai, pembangunan kilang minyak tidak hanya akan memperkuat pasokan BBM dalam negeri tetapi juga akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Dengan adanya kilang tidak hanya menghasilkan BBM tetapi juga banyak produk komoditi turunan yang bisa dihasilkan. Ia mensinyalir tidak terealisasinya pembangunan kilang ini karena dihambat oleh mafia migas yang berperan besar terhadap impor BBM.

 

Oleh karena itu, Bisman mengingatkan agar Pemerintah dapat memastikan bahwa semua hambatan dalam proses pembangunan kilang dapat dihilangkan, diantaranya proses perizinan, pengadaan tanah untuk lokasi, serta bilamana perlu memberikan insentif berupa pajak atau kemudahan yang lain. “Untuk itu, percepatan realisasi pembangunan kilang ini harus didukung dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang memadai,” pungkas Bisman.

 

Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo sebelumnya sempat mengungkapkan kekesalannya akibat pembangunan kilang minyak yang tidak kunjung rampung. Menurut Jokowi, keterlaluan karena selama 30 tahun lebih tidak ada satupun kilang yang terbangun.

 

Pertamina kemudian menjelaskan beberapa progres terkait pembangunan kilang. Menurut Vice President Corporate Comunication Pertamina, Fajriyah Usman, saat ini proyek-proyek kilang masih berjalan sesuai rencana. Terdapat lima proyek kilang yang berjalan hingga saat ini yang mana terdiri dari 3 kilang pengembangan atau RDMP dan dua kilang baru atau grass root (GRR).

 

Fajriyah mengatakan proyek RDMP dan GRR akan meningkatkan kapasitas kilang untuk pengolahan minyak mentah menjadi dua kali lipat dari 1 juta barrel pada saat ini, menjadi 2 juta barrel. "Pertamina melakukan sejumlah akselerasi agar proyek yang ditetapkan Presiden sebagai proyek strategis nasional ini, bisa segera terwujud," ujar Fajriyah dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.

 

Tags:

Berita Terkait