Penyelesaian Kasus Sengketa Pajak Belum Optimal, Ini Sebabnya
Berita

Penyelesaian Kasus Sengketa Pajak Belum Optimal, Ini Sebabnya

Belum optimalnya penyelesaian sengketa pajak disebabkan rendahnya kualitas aparat pengadilan pajak. DJP berupaya mengatasinya dengan membentuk Komite Pemeriksaan Pajak yang bertugas memutuskan perbedaan interpretasi besaran pajak antara DJP dengan WP.

CR-26
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, segala perubahan peraturan perpajakan yang terus berjalan mesti dipahami bersama. Perubahan peraturan diklaim sebagai langkah reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara.

 

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan menyadari munculnya sengketa perpajakan tersebut terjadi karena masih terdapat perbedaan perhitungan antara DJP dengan WP. Robert menjelaskan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi potensi sengketa perpajakan adalah pembentukan Komite Perencanaan Pemeriksaan Pajak. Komite tersebut nantinya bertugas memutuskan mengenai perbedaan interpretasi besaran pajak antara DJP dengan WP.

 

Perbaikan kualitas pemeriksaan juga dilakukan DJP dengan menggunakan perangkat teknologi atau IT-based audit yang pengawasannya dilakukan Komite Pengendalian Mutu Pemeriksaan. Melalui program tersebut, DJP dapat memeriksa secara otomatis seluruh data WP. “Kami berharap dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan dan menekan potensi sengketa serta meningkatkan rasa keadilan bagi WP,” kata Robert.

 

Seperti diketahui, definisi sengketa pajak dijelaskan Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang berbunyi: “Sengketa pajak adalah adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

 

Ketentuan Banding dan Gugatan dalam sengketa pajak diatur lebih lengkap dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bentuk perkara sengketa pajak dapat berupa keberatan kepada Dirjen Pajak, banding dan gugatan ke Pengadilan Pajak.

 

Tata cara pengajuan keberatan diatur melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Jika wajib pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang diajukan, wajib pajak hanya dapat mengajukan banding kepada pengadilan pajak (Pasal 27 ayat [1] UU KUP).

 

Sedangkan, perkara gugatan merupakan perkara yang diajukan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap (Pasal 31 ayat [3] UU 14/2002 jo Pasal 23 ayat [2] UU KUP):

  1. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
  2. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
  3. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 (UU KUP); atau
  4. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 ayat [1] UU 14/2002). Karena itu, upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan banding maupun putusan gugatan Pengadilan Pajak adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung (MA).

Tags:

Berita Terkait