Penyempurnaan UU P3 Penting, Tetapi Bukan Sekadar Teknis
Terbaru

Penyempurnaan UU P3 Penting, Tetapi Bukan Sekadar Teknis

Lebih baik membahas hal-hal substansial guna memperbaiki sistem penyusunan perundang-undangan.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Penyempurnaan UU P3 Penting, Tetapi Bukan Sekadar Teknis
Hukumonline

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja perlu dijadikan momentum untuk memperbaiki atau merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan (UU P3). Tetapi perbaikan itu harus dilakukan secara lengkap, jangan hanya masalah teknis penyusunan peraturan seperti omnibus law.

Melalui putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji formil UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi itu melalui revisi UU P3, terutama untuk mengakomodasi metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Apabila disahkan, revisi UU UU No. 12 Tahun 2011 ini adalah yang kedua setelah sebelumnya direvisi melalui UU No. 15 Tahun 2019.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Legislative Drafting, Fitriani Ahlan Sjarif berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji formal UU Cipta Kerja adalah momentum memperbaiki sistem peraturan perundang-undangan. “Kalau kita lihat di putusan MK, ini sebenarnya cukup apresiasi. Apapun diskusi yang terjadi ada pertentangan dari inkonstitusional bersyarat itu, tapi menurut saya dari sisi perundang-undangan ada kesempatan untuk memperbaiki sistem perundang-undangan,” ujarnya dalam diskusi akademik RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011, yang dilakukan secara daring, Sabtu (12/2/2022).

Dosen Fakultas Hukum UI itu berpendapat putusan MK tersebut dapat menjadi arah perbaikan prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yang tidak tepat. Apabila prosedurnya tidak tepat, sangat mungkin suatu UU dibatalkan atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Ia meminta pemerintah dan DPR tidak mengabaikan pedoman teknis yang sudah diatur. Sikap hati-hati ini sudah mulai ditunjukkan pemerintah dan DPR dalam beberapa kali rapat penyusunan revisi UU P3. Ada kemajuan dalam beberapa hal seperti tahapan dan dokumentasi.

Terkait dengan revisi UU P3 ini, Fitri menyebutkan penting dilakukan meskipun tidak eksplisit diperintahkan dalam putusan MK. “Munculnya desakan UU No. 12 Tahun 2011 diubah kedua kalinya, karena memang walau tidak ada di dalam amar, di dalam pertimbangan putusan MK ada kalimat bahwa metode yang digunakan pada UU Cipta Kerja tidak dapat digunakan selama belum diadopsi dalam Undang-Undang. Sehingga ada beberapa perspektif yang mengatakan untuk UU No. 12 Tahun 2011 saja yang diubah. Walaupun secara langsung putusan MK tidak menyebutkan demikian,” tegasnya.

Menurut Fitri, fokus pada perbaikan UU Cipta Kerja lebih baik ketimbang membuat pekerjaan rumah baru yang tidak tegas diamanatkan putusan MK. “Buat saya, kita boleh saja mengubah UU No. 12 Tahun 2011 tapi kita punya waktu atau tidak? Jadi kalau putusan MK ini menyatakan dapat dianggap memperbaiki sistim perundang-undangan yang terkoyak kita berharap sebenarnya tidak ada lagi model yang seperti itu tapi ternyata wacana itu muncul,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Legislative Drafting itu menyoroti beberapa hal yang dianggap esensial untuk disorot dalam perubahan UU P3 seperti polemik terkait bahasa daerah, status peraturan yang dikeluarkan badan atau kepala badan, kewenangan menteri, dan heirarki peraturan yang tidak kunjung usai. "Mending kita membahas hal-hal tersebut dibanding membahas soal teknis yang malah meruwetkan atau tidak makin user friendly buat peraturan,” imbuh Fitri.

Dia menekankan upaya memperbaiki pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya mengubah teknik yang sudah dinilai bermasalah dalam putusan mengenai UU Cipta kerja. Pembentuk Undang-Undang perlu lebih memberikan atensi terhadap hal-hal di luar itu yang masih banyak dan dapat dibahas tuntas dalam rangka membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih baik.

Apabila DPR dan Pemerintah serius merevisi UU P3, Fitri merekomendasikan penyempurnaan menyeluruh dalam rangka membangun sistem perundang-undangan yang baik. "Tetapi pertanyaannya adalah apakah kita harus terburu-buru? Sedikit pesan, janganlah memberikan payung hukum untuk mengulangi kesalahan yang sudah pernah kita rapikan," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait