Penyidikan Perkara Sjamsul Nursalim Kembali Dilanjutkan
Utama

Penyidikan Perkara Sjamsul Nursalim Kembali Dilanjutkan

Hakim menilai, SP3 Sjamsul Nursalim tidak didasarka pada kewenangan khusus Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas, khususnya soal deponir.

NNC
Bacaan 2 Menit
Penyidikan Perkara Sjamsul Nursalim Kembali Dilanjutkan
Hukumonline

 

Ini kemenangan buat seluruh rakyat Indonesia yang peduli nasib perekonomian negara dari ancaman korupsi, ujar Koordinator MaKI Boyamin Saiman menahan isak tangis. Maklum, sejak awal ia merasa ragu permohonannya bakal dikabulkan, sebagaimana PN Jaksel pernah menolak permohonan praperadilan Boyamin setahun lalu.

 

Kedudukan Hukum MaKI

Dalam putusannya, hakim menolak mentah-mentah eksepsi dari Tim Jaksa yang menyatakan pemohon praperadilan dari pihak ketiga berkepentingan haruslah seorang saksi korban dari peristiwa pidana yang diperkarakan. Dalam pertimbangannya, Haswandi mendasarkan pada Pasal 80 KUHAP soal penafsiran ‘pihak ketiga yang berkepentingan'. Itu janganlah diartikan secara sempit sebatas saksi korban atau ahli warisnya saja. Semestinya ditafsirkan pada sebesar apa bobot kepentingan publik yang terganggu oleh adanya perbuatan pidana itu, tuturnya.

 

Jika permohonan itu ditolak dengan alasan ketiadaan kedudukan hukum LSM sebagai pemohon, Haswandi berpendapat hal itu bakal bertentangan dengan Pasal 41 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mendorong partisipasi dan peran serta masyarakt untuk memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi yang menggerogoti perekonomian negara.

 

Haswandi menggunakan sejumlah kriteria bagi lembaga swadaya masyarakat yang boleh mengajukan praperadilan terhadap penerbitan SP3 pada perkara pidana korupsi. Kriteria itu di antaranya, bobot kepentingan umum dalam tindak pidana yang diperkarakan, LSM itu memiliki anggaran dasar yang tegas menyebut bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi—sebagai wujud peran serta masyarakat. Terakhir, LSM itu secara aktif berkesinambungan menjalankan maksud dan tujuan pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

 

Jika melongok Anggaran Dasar MaKI dan mempertimbangkan bobot ancaman korupsi bagi perekonomian negara, Haswandi menilai posisi MaKI cukup kuat. Sudah selayaknya memberikan hak dan kedudukan pada MaKI sebagai pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan praperadilan terhadap penghentian penyidikan perkara korupsi, ujarnya.

 

Mestinya Deponir

Selanjutnya, dalam pokok perkara, Haswandi menilai penerbitan SP3 terhadap perkara Sjamsul tidak tepat dan tidak sah. Alasannya, penerbitan SP3 itu didasarkan pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yakni mengganggap peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.

 

Haswandi menegaskan bahwa pihak kejaksaan tidak bisa seenaknya menafsirkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2002. Bahwa dugaan tindak pidana korupsi obligor dana bantuan BLBI (yang kooperatif) menguap begitu saja. Inpres ini menjadi dasar penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan SP3.

 

Meski tidak secara langsung, Haswandi menyindir keberadaan Inpres tersebut. Ia menilai, Inpres tersebut telah menghapuskan pidana dari orang yang mengembalikan piutang negara dalam kasus dana BLBI. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 4 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara, tidak menghapuskan dipidananya terpidana korupsi, tandasnya.

 

Beleid itu, kata Haswandi hanyalah sebuah jaminan kepastian hukum untuk membebaskan debitur kooperatif dari aspek pidana pemegang saham—yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan—yang diberikan dalam bentuk penangguhan penyelesaian aspek pidananya. Pelaksanaannya, lanjut Haswandi, harus dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Lagi-lagi Haswandi mengingatkan kejaksaan agar tidak percaya begitu saja pada SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Seharusnya, kata Haswandi, sebelum mengeluarkan SP3, kejaksaan ikut meneliti dengan cermat berapa jumlah kewajiban tersangka serta bukti riil pembayaran yang sudah dilakukan oleh tersangka.

 

Hal ini sangat diperlukan sebagai sarana kontrol horisontal antara lembaga kejaksaan terhadap kinerja BPPN. Sekaligus untuk menghindari penerbitan SKL yang bertentangan secara hukum dan penggunaan hak secara sewenang-wenang, paparnya.

 

Selain itu, lanjut Haswandi, kejaksaan dalam menerbitkan SP3 Sjamsul Nursalim harusnya mendasarkan pada kewenangan khusus Jaksa Agung dalam melaksanakan asas oportunitas, yakni mengesampingkan perkara tersebut. Hal ini seperti ditentukan dalam Pasal 35 (c) UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan. Pasal itu memang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeer).

 

Jawab Tantangan

Usai sidang, salah satu anggota Tim Jaksa, Tony Sinay langsung menyatakan akan menempuh upaya banding. Ia masih kekeuh memandang penerbitan SP3 atas Sjamsul sudah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk Inpres No. 8/2002. Masih ada kesempatan untuk melakukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi. Kami akan menggunakan hak tersebut, ujarnya mantap.

 

Menanggapi respon dari Tim Jaksa ini, Boyamin menganggap Tim Jaksa tengah emosional. Sebab, permohonan praperadilan ini sebenarnya dilakukan MaKI untuk menjawab tantangan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

 

Beberapa waktu silam, ketika masih menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman mengatakan, SP3 hanya bisa dicabut oleh lembaga peradilan melalui upaya praperadilan. Ia bahkan mempersilakan agar SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan dipraperadilankan. Kalau benar melakukan upaya banding, Jaksa Agung berarti tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri, selorohnya.

Menjelang tengah hari, suasana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tampak sedikit berbeda. Maklum, Selasa (6/5), persidangan praperadilan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara Sjamsul Nursalim, sampai pada babak akhir: putusan.

 

Sebelum sidang dimulai, kedua pihak yang berperkara, Tim Jaksa Pengacara Negara (Tim Jaksa) dan para aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Anti Korupsi (MaKI) selaku Pemohon, tak mampu menutupi suasana hati mereka.

 

Tim Jaksa, dengan langkah mantap, melenggang menuju ruang sidang dengan tatapan mata penuh percaya diri. Mereka yakin, permohonan praperadilan atas penghentian perkara dugaan korupsi tersangka mantan bos Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) ini bakal ditolak oleh Pengadilan. Sebaliknya, Pemohon mengaku ciut hati, tak yakin permohonannya bakal lolos di meja hijau. Mereka sadar, bahwa mereka hanyalah sebuah LSM anti korupsi dari daerah yang namanya belum juga rata tergaung ke seantero negeri.

 

Namun, semua itu berubah dalam hitungan menit. Lewat tengah hari, saat Hakim Haswandi yang memimpin sidang praperadilan SP3 atas perkara Sjamsul mengetokkan palu. Hakim mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon. Hakim menyatakan, penerbitan SP3 yang diterbitkan kejaksaan terhadap Syamsul Nursalim tidak sah, plus hakim memerintahkan penyidikan perkara mantan bos BDNI yang menikmati BLBI itu agar dilanjutkan kembali.

 

Tentu saja, putusan tersebut mengharu birukan ruang utama PN Jaksel. Tim Jaksa tak bisa menyembunyikan kekagetan. Sebaliknya, Pemohon sekonyong-konyong merunduk, menitikkan airmata ketika hakim kelar merapal putusan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: