Penyitaan dan Perampasan Rekening Efek
Kolom

Penyitaan dan Perampasan Rekening Efek

Penyitaan dan perampasan seharusnya dilakukan apabila syarat-syarat penyitaan dan perampasan menurut hukum terkait yang berlaku telah terpenuhi.

Bacaan 5 Menit

Penjelasan Pasal 27, Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya", antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a. bersifat lintas sektoral; b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Langkah ini sepertinya tidak dilakukan oleh Kejaksaan Agung, tidak ada informasi tentang pembentukan tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung, yakni dengan mengajak PPNS yang diperbantukan di OJK untuk melakukan serangkaian pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan secara bersama. Padahal kasus ini masuk kategori dugaan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, di antaranya adalah bidang pasar modal.

Sehingga wajar terjadi beberapa kesalahan dalam proses hukum, yang berakibat pada penyitaan dan perampasan terhadap kekayaan pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya. Ada dugaan malpraktik hukum atau jika dianalogikan “dokter umum memeriksa/mengdiagnosis pasien yang menderita penyakit jantung”, bukan tidak boleh tetapi akan lebih valid dan elegan PPNS yang diperbantukan di OJK yang memang spesialisasinya masuk dalam tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung, sesuai amanat UU Tipikor.

Mahkamah Agung

Mengikuti proses hukum Asuransi Jiwasraya dan ASABRI, akhirnya mulai disadari bahwa ada beberapa proses hukum yang tidak sesuai. Apresiasi publik kepada Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ASABRI yang menganalisis dan menyampaikan pernyataan yang dikutip media massa, “Kejaksaan RI saat melakukan proses penyitaan dilakukan secara serampangan antara aset-aset pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perkara ini”. Pernyataan ini adalah teguran yang sangat keras yang dilakukan Majelis Hakim kepada Jaksa Penuntut Umum. Di samping penggunaan dan penerapan pasal penuntutan yang tidak pas, sehingga terkesan kurang hati-hati dan mudah dikoreksi oleh Majelis Hakim.

Benteng terakhir penegakan hukum adalah Mahkamah Agung, akankah Mahkamah Agung dapat menjalankan amanahnya dengan baik? Memeriksa kembali proses hukum yang tidak tepat dan yang kurang tepat? Yang salah memang harus bertanggung jawab sesuai dengan kesalahannya, sementara yang tidak bersalah dan tidak melanggar hukum dikembalikan hak-hak dan nama baiknya, terutama pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan kasus hukum Asuransi Jiwasraya dan ASABRI.

Solusi ke Depan

Ke depan, sebaiknya Kejaksaan Agung apabila menghadapi kasus serupa dan termasuk kriteria Pasal 27 UU Tipikor dan penjelasannya sebagai sesuatu yang diartikan dalam rangka memperkuat tim gabungan untuk proses pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan, sehingga keadilan dalam penegakan hukum itu marwahnya dirasakan oleh semua pihak. Jika masih diabaikan, apalagi cenderung one institution show, maka biasanya kebenaran itu akan mencari jalannya sendiri, nasehat serupa disampaikan oleh mendiang Presiden Nelson Mandela pada quote di awal tulisan ini.

*)Arman Nefi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait