Pentingnya Penerapan Sita Jaminan dalam Penanganan Perkara Korupsi
Kolom

Pentingnya Penerapan Sita Jaminan dalam Penanganan Perkara Korupsi

Jangan sampai proses pemulihan kerugian keuangan negara menjadi hal mustahil, sedangkan pada waktu bersamaan ada potensi pengalihan aset pelaku kepada pihak lain.

Bacaan 6 Menit
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Foto: Istimewa

Penegakan hukum, khususnya yang menyangkut pemberantasan korupsi semakin kehilangan arah. Dua pendekatan pemidanaan, baik retributif maupun restoratif terbukti tak pernah diimplementasikan secara maksimal. Penelitian Indonesia Corruption Watch baru-baru ini membuktikannya, hukuman badan bagi pelaku korupsi masih terbilang ringan, begitu pula pemulihan kerugian negara yang sangat minim dan kian jauh dari ekspektasi masyarakat.

Konsiderans Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) bagian pertama sudah menggambarkan secara tersirat bahwa kejahatan kerah putih ini pada dasarnya bersumber dari persoalan ekonomi. Untuk itu, orientasi penanganan perkara, utamanya hukuman yang dijatuhkan harus seimbang, baik pidana badan maupun pengenaan denda serta uang pengganti. Alih-alih tercapai, selama tahun 2021 rata-rata hukuman terdakwa hanya 3 tahun 5 bulan penjara dan uang penggantinya berkisar Rp 1,4 triliun dari total kerugian keuangan negara yang mencapai Rp 62,1 triliun.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya pemidanaan bagi pelaku korupsi. Terlepas dari ketiadaan komitmen antikorupsi dari aparat penegak hukum, sokongan berupa regulasi dari eksekutif dan legislatif pun tak pernah tampak. Misalnya saja, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi UU Tipikor praktis hanya menjadi tumpukan berkas tanpa pernah ditindaklanjuti. Padahal, substansi legislasi-legislasi itu diyakini akan berdampak langsung terhadap pemberian efek jera kepada pelaku korupsi.

Salah satu yang menjadi problematika klasik dalam penanganan perkara korupsi ialah menyangkut pemulihan kerugian keuangan negara. Bagaimana tidak, regulasi yang eksis saat ini masih membuka ruang perdebatan di kalangan pemerhati hukum. Sebagaimana dipahami, pidana tambahan uang pengganti merupakan sarana tunggal untuk memulihkan kerugian akibat tindak pidana korupsi. Hanya saja, Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor baru mendefinisikan uang pengganti terbatas pada harta benda yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dari tindak pidana korupsi. Pertanyaan sederhananya, bagaimana jika kemudian pelaku memasukkan harta kekayaan tercemar itu dalam instrumen perbankan, lalu mendapatkan bunga? Apakah keuntungan tersebut dapat dirampas sebagai uang pengganti?

Baca juga:

Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan, bahkan majelis hakim masih keliru menafsirkan uang pengganti. Sebut saja putusan Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap terdakwa mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Majelis hakim berpandangan penerimaan suap dan gratifikasi oleh Nurhadi tidak bisa dikenakan uang pengganti karena bukan merupakan kerugian keuangan negara.

Jelas pertimbangan ini keliru, sebab Pasal 17 UU Tipikor telah terang menyebutkan bahwa Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 tetap bisa dikenakan pidana tambahan uang pengganti. Aturan internal Mahkamah Agung, yakni Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 pun juga menegaskan perihal penjatuhan pidana tambahan uang pengganti dapat dikenakan terhadap seluruh delik di dalam UU Tipikor. Jika terus menerus seperti ini, maka pencapaian perolehan kerugian keuangan negara akan selalu menemui jalan terjal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait